Sukses

Jaksa Agung: Eksekusi Aset Yayasan Soeharto Bukan Korek Luka Lama

Kejagung akan bersikap proaktif terhadap hasil putusan MA terkait denda kepada Yayasan Supersemar.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, pihaknya siap menjalankan putusan Peninjauan Kembali (PK) terkait perbuatan melawan hukum yang dilakukan Yayasan Supersemar yang merupakan yayasan milik Presiden ke-2 RI Soeharto oleh Mahkamah Agung (MA).

Sebab, menurut Prasetyo, hal itu merupakan tanggung jawab sebagai pengacara negara untuk proaktif melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak yang punya kompetensi terkait penyelesaian putusan tersebut.

Namun, Prasetyo menolak jika rencananya mengeksekusi aset milik Yayasan Supersemar dianggap mengorek luka lama terhadap keluarga mantan Presiden Soeharto.

"Tidak ada itu luka lama, ini hak dari negara untuk memulihkan aset negara," ucap Prasetyo di Gedung Kejagung, Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (14/8/2015).

Politikus Partai Nasdem itu menambahkan, pihaknya telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara selaku jaksa pengacara negara (JPN) agar memverifikasi sejumlah aset milik Yayasan Supersemar.

"Nah itu dia makanya, kita lakukan verifikasi. Karena kita punya kepentingan. Nanti kita akan bicarakan dengan juru sitanya (PN Jaksel)," imbuh Prasetyo.

Kejagung, sambung Prasetyo, akan bersikap proaktif terhadap hasil putusan MA terkait denda kepada Yayasan Supersemar. Di mana denda diberikan dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat Yayasan Beasiswa Supersemar.

"Kita juga proaktif untuk menuntaskan bagaimana kelanjutan atas putusan itu. Karena pengadilan yang punya kewenangan untuk melaksanakan eksklusif putusannya. Ini kan perkara perdata," pungkas Jaksa Agung.

Putusan PK

Dalam PK yang dijatuhkan pada 8 Juli 2015 tersebut, Presiden ke-2 RI Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar kepada negara atau sekitar Rp 4,4 triliun dengan kurs saat ini.

Putusan diambil oleh ketua majelis Suwardi, Soltoni Mohdally dan Mahdi Sorinda yang mengabulkan PK yang diajukan Negara RI cq Presiden RI melawan mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya sekaligus menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar.

PK tersebut memperbaiki kesalahan pengetikan putusan pada 2010 yang dipimpin oleh Harifin Tumpa --yang saat itu menjabat sebagai ketua MA-- dengan hakim anggota Rehngena Purba dan Dirwoto, memutuskan harus membayar kembali kepada negara US$ 315 juta (berasal dari 75% dari US$ 420 juta) dan Rp 139,2 miliar (berasal dari 75% dari Rp 185,918 miliar).

Namun dalam putusannya, MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, tapi Rp 139,2 juta. (Ans/Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.