Sukses

Taylor Swift, "Sang Ratu Penguasa" Jagat Musik

Hanya 16,5 jam sejak Taylor Swift menuliskan protesnya di blog, Apple langsung mengubah kebijakannya.

Liputan6.com, Banyak orang menulis blog. Kebanyakan berakhir tak dibaca banyak orang, tapi ada seorang wanita berusia 25 tahun menulis blog dan tulisannya membuat perusahaan sebesar Apple mengubah aturan main yang sudah mereka buat.

Wanita itu bernama Taylor Swift. Pada 21 Juni 2015, Swift menulis di blog Tumblr-nya berjudul "To Apple, Love Taylor." Isinya kritik atas aturan main pembayaran di situs penjualan musik digital milik Apple yang baru rilis, Apple Music.

"Saya menulis ini untuk menjelaskan kenapa menunda penjualan album saya, 1989 di situs layanan streaming musik anyar, Apple Music," begitu Swift memulai tulisannya.

(foto: buzzfed.com)

Ia menulis, keputusan Apple Music tidak membayar royalti musisi untuk masa percobaan gratis 3 bulan adalah mengejutkan, mengecewakan, dan sungguh tidak menggambarkan Apple sebagai sebuah perusahaan besar.

Swift mengatakan, tidak akan menjadi bagian dari Apple Music bukan hanya karena kepentingan pribadi semata. "Ini tentang melindungi artis baru yang tidak akan dibayar untuk hasil kerjanya," tulisnya. "Tiga bulan adalah waktu yang lama untuk tidak dibayar, dan itu tidak adil untuk siapa pun karena bekerja tanpa mendapatkan apa-apa. Saya mengatakan ini dengan cinta, hormat, dan kekaguman atas segala yang dilakukan Apple," sambungnya.

Berikut adalah penampakan tampilan antarmuka Apple Music.

Swift menegaskan, akan bekerja sama dengan Apple Music ketika perusahaan yang didirikan mendiang Steve Jobs itu berlaku adil kepada mereka yang menciptakan musik.

Keberatan Swift didengar pihak Apple. Hebatnya, hanya dalam waktu 16,5 jam, demikian majalah Time edisi 6-13 Juli mencatat, Wakil Presiden Senior dari Internet Software and Services Apple, David Cue, merespons tulisan Swift dengan rangkaian twit.

"#AppleMusic Akan membayar artis untuk streaming, bahkan selama masa percobaan gratis," tulis Cue, dan menambahkan, "Kami mendengar Anda @taylorswift13 dan artis indie. Love, Apple."

Ini bukan kali pertama Swift memprotes kebijakan pembayaran artis oleh perusahaan layanan musik digital. Pada 3 November tahun lalu, ia menarik semua katalog musiknya dari layanan Spotify, layanan musik streaming online yang mengklaim dilanggan 50 juta pengguna aktif, 10 juta di antaranya membayar layanan bebas iklan dan versi mobile.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rekor Taylor Swift

Rekor Taylor Swift

Hengkangnya Swift dari layanan Spotify membuat jagat musik berguncang. Di tengah kelesuan penjualan album fisik dan penjualan digital mulai jadi tumpuan, gadis cantik ini justru mengambil langkah drastis berbalik arah.

Namun, Swift memang sebuah anomali di tengah iklim industri musik yang lesu. Penjualan album fisiknya mencengangkan. Di tengah merosotnya penjualan fisik album musik, ia masih mampu menjual jutaan keping.

Album anyarnya, 1989, mencatatkan rekor fantastis. Sepekan usai rilis di akhir Oktober lalu, album fisik 1989 terjual 1,29 juta keping. Bloomberg Businessweek edisi 17 November 2014 mencatat, angka itu mencakup 22 persen penjualan album musik di AS tahun kemarin, mengutip data Nielsen SoundScan.

Angka 1,29 keping dalam seminggu mengalahkan rekor yang sebelumnya diraih Eminem dengan album The Eminem Show tahun 2002. Penjualannya yang terbesar dalam dua tahun terakhir mengalahkan album anyar milik Beyonce, Coldplay, dan Lady Gaga. 

Pada minggu awal November tahun lalu, ia punya lima lagu bertengger di tangga Billboard Hot 100, termasuk Shake it Off, single pertama dari album barunya, yang bertengger di nomor wahid.

Tak cuma itu. Dua album miliknya, Red (rilis 2012) dan Fearless (rilis 2008) juga masih bertengger di deretan Billboard 200. Saat tulisan ini dibuat, lagunya, Badblood, bertengger di urutan 4 Billboard Hot 100. Album 1989 miliknya masih gagah bertengger di urutan 4 setelah 36 minggu rilis.   

Taylor Swift adalah sebuah anomali di jagat industri musik yang mengalami penurunan penjualan sejak 2000. Hanya sebulan sebelum Swift merilis 1989, Asosiasi Industri Rekaman Amerika (RIAA, Recording Industry Association of America) melaporkan penjualan album CD turun 19 persen pada paruh pertama 2014 dibanding periode yang sama setahun sebelumnya, yakni 56 juta keping.

Pada tahun 2002 total penjualan album CD di AS mencapai 681 juta keping (turun dari 763 juta keeping di tahun 2001). Kala itu, menjual album hingga jutaan keping hal lumrah. Sepuluh album terlaris tahun 2002 adalah milik Eminem (The Eminem Show dan OST 8 Mile), Nellyville milik Nelly (4,9 juta), Let Go milik Avril Lavigne (4,1 juta), serta Home-nya Dixie Chicks (3,7 juta).

Bandingkan dengan penjualan album fisik saat ini. Sebelum 1989 rilis, penjualan terbesar tahun-tahun kemarin adalah Ghost Story milik Coldplay yang terjual 383 ribu di minggu pertama dan saat Swift merilis albumnya baru terjual 737 juta sejak Mei 2014. Itu hanya sepertiga dari yang diperoleh Swift dari seminggu penjualan 1989.   

3 dari 3 halaman

Hikayat Taylor Swift vs Spotify

Hikayat Taylor Swift vs Spotify

Semula, penjualan unduhan digital bisa diharapkan menjadi penghasilan utama artis pengganti penjualan fisik yang terus turun.

Namun kenyataannya, seperti dilaporkan RIAA penjualan format unduhan digital menurun 14 persen pada paruh pertama 2014.

Sementara itu, pendapatan dari layanan streaming macam Spotify meningkat 24 persen. Namun, sang artis hanya mendapat bayaran kecil dari penjualan dari format ini. "Untuk setiap unduhan digital lagunya, Taylor Swift mendapat bayaran 50 persen," kata Alice Enders, seorang pengamat industri musik yang berbasis di London pada Bloomberg Businessweek.

"Berarti itu sebesar 50 atau 60 sen (dolar AS), jumlah uang yang besar dibanding hanya dapat satu sen (dari layanan streaming)."

Penampilan Taylor Swift saat konser bertajuk 1989 World Tour di Tokyo Dome, Jepang. (foto: entertainthis.usatoday)

Layanan streaming memang menawarkan ongkos mendapatkan hiburan musik dengan sangat murah. Seperti dicontohkan majalah Bloomberg Businessweek edisi Indonesia 9-15 Maret 2015. Dengan membayar USD 10, pelanggan memiliki akun Spotify Premium di Spotify.

Dengan akun tersebut, pelanggan bisa menikmati semua fasilitas yang ditawarkan, seperti mendengarkan semua lagu yang ada di katalog, membuat dan memodifikasi playlist serta membagikannya, follow pengguna lain, mengunduh lagu, berbagi lagu di media sosial, meng-embed Spotify Player, memasang aplikasi kumpulan lirik, pengumuman konser dan festival, dan lain sebagainya. Semua itu hanya dengan sekali bayar.   

Menikmati musik dengan begitu murah, hal itu yang tampaknya ditentang Swift. Bersama Scott Borchetta, pendiri perusahaan rekaman Big Machine Records yang menaunginya, Swift lalu memutuskan mencabut semua katalog musiknya dari Spotify.

"Saya bilang padanya, 'Bila kita ingin membuat pernyataan, ayo buat dengan jelas dan spesifik. Semua karya musikmu punya nilai.' Dan dia setuju," kata Borchetta pada Bloomberg Businessweek.

CEO Spotify, Daniel Ek, kemudian menulis esai panjang membela model bisnis yang dijalankannya. Langkah Swift, katanya, justru mengundang orang melakukan pembajakan karya musik dengan tidak membaginya lewat layanan yang mudah diakses, murah, dan populer seperti Spotify.

"Zaman dulu, banyak artis masih mampu menjual jutaan CD setiap tahun. Hal itu tak terjadi lagi sekarang; cara orang menikmati musik sudah berubah—dan mereka takkan kembali ke cara lama," tulis Ek.  

Pemberontakan Swift pada Spotify menjelaskan satu hal: dibanding siapa pun saat ini, Swift yakin album fisik yang ia rilis masih akan banyak orang beli. Dan hal itu terbukti. Ia ratu penguasa jagat musik hari ini. Lain tidak. (Ade)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini