Sukses

Cerita Akhir Pekan: Etika Wisata Bencana

Disebutkan bahwa banyak fenomena yang sebenarnya bukan masuk lingkup wisata bencana, tapi dianggap demikian.

Liputan6.com, Jakarta - Definisi wisata bencana acap kali disalahpahami, menurut Wakil Dekan Bidang Akademik dan Perencanaan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Nyoman Sukma Arida. Ia menyebut, banyak fenomena yang sebenarnya bukan masuk lingkup wisata bencana, tapi dianggap demikian.

"Wisata bencana adalah aktivitas wisata yang muncul setelah terjadinya bencana," Nyoman mengutarakan melalui pesan suara pada Liputan6.com, Jumat, 4 November 2022. "Jadi, kata kuncinya itu wisatanya bukan saat bencana, tapi setelah bencana."

"Misalnya, dalam konteks bencana berskala luas, erupsi, satu bulan, dua bulan setelah letusan. Soal kapan etisnya itu masih jadi perdebatan. Yang jelas bukan sesaat setelah bencana," ia mengatakan.

Nyoman menggarisbawahi bahwa ketika terjadi bencana, semestinya kegiatan yang diperbolehkan di tempat kejadian adalah segala hal terkait tanggap darurat yang berfokus pada menolong korban dan meringankan beban korban. "Di luar itu, seharusnya tidak dilakukan, termasuk berwisata maupun berpolitik," imbuhnya.

Akhirnya jadi wisata bencana, Nyoman mengatakan, tujuannya adalah mempelajari bencana tersebut. "Ketika terjadi erupsi Gunung Merapi tahun 2010, misalnya, ada satu desa di lereng Merapi, yang merupakan desa mbah Maridjan (mantan juru kunci Gunung Merapi), bernama Desa Kinahrejo, sekitar dua bulan setelah bencana, populer jadi destinasi," katanya.

"Pemuda setempat membiarkan puing-puing bangunan hancur untuk dilihat pengunjung," tuturnya. "Mereka juga membuka tiket masuk, akhirnya terkumpul donasi yang bisa digunakan (sebagai) pemulihan ekonomi warga. Pariwisata membantu."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sisi Lain Wisata Bencana

Di lain sisi, Nyoman mengatakan, walau itu bisa jadi edukasi bagi pengunjung dalam memahami besarnya skala bencana dan apa yang harus dilakukan ketika bencana terjadi, muncul juga persepsi bahwa wisata bencana seolah mensyukuri kehancuran dan penderitaan.

"Tapi menurut saya, yang penting, apa tujuan orang berwisata ke sana. Kalau hanya untuk foto, diunggah ke media sosial, glorifikasi pribadi, itu yang tidak boleh. Etikanya harus (diperhatikan) di situ. Etiskah kita berjalan-jalan di daerah yang masih ada nuansa kesedihan, penderitaan. Yang harus kita jaga adalah perasaan masyarakat yang ada di daerah bencana," tuturnya.

Karena itu, Lava Tour Merapi baru hadir satu tahun setelah erupsi Gunung Merapi tahun 2010. "Itu pun kami tidak langsung sampai bunker (Kaliadem). Setelah dua bulan mengungsi, jaringan pipa air rusak, listrik juga tidak ada, kami mencari celah, apa yang bisa dilakukan di lereng Merapi," kata Ketua Umum Asosiasi Jeep Wisata Lereng Merapi (AJWLM), Dardiri, lewat pesan suara pada Liputan6.com, Sabtu, 5 November 2022.

Seiring eksekusinya, Dardiri menyebut, mereka harus mengedukasi masyarakat sekitar, terutama mereka yang berada di jalur yang dilalui Lava Tour Merapi. Ia bercerita, wisata naik jip ini semula akan dilakukan di wilayah Kaliurang. "Tapi, belum juga jalan, Merapi erupsi (tahun 2010), akhirnya berubah rencana. Waktu itu baru ada satu atau dua jip," tuturnya.

 

3 dari 5 halaman

Memberi Penghormatan

Memberi penghormatan pada para korban erupsi Gunung Merapi sekitar 12 tahun lalu, Dardiri mengaku, tur akan selalu melewati makam massal. "Kita beri tahu wisatawan bahwa sebanyak ini yang meninggal dunia saat itu," ia berkata.

Dardiri juga berkata bahwa pemandu wisata dari masing-masing operator Lava Tour Merapi harus mampu memberi informasi tentang paket-paket yang tersedia. Selain, memastikan keamanan pengunjung dengan mewajibkan mereka pakai helm. "Di sisi lain, tempat-tempat pascaerupsi Gunung Merapi ini kita jelaskan dan terangkan," katanya.

Kini, sudah ada 29 komunitas operator jip wisata di lereng Merapi di bawah naungan AJWLM. Karena lokasi operasional mereka yang masih berada di rawan bencana, mitigasi bukan sesuatu yang bisa ditawar.

Pakar dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Erda Rindrasih, menjelaskan perbedaan manajemen pariwisata dan manajemen bencana dalam webinar bertajuk "Travel by Design: Memotret Kebijakan Pengembangan Pariwisata di Destinasi Rawan Bencana," Selasa, 1 November 2022.

Manajemen pariwisata, Erda memaparkan, terdiri dari aktivitas-aktivitas terencana, cenderung menghabiskan uang untuk hiburan, wisatawan berharap bisa bersantai dan menikmati tempat-tempat baru, serta punya ketergantungan tinggi dalam situasi stabil.

"Sementara, manajemen bencana itu tentang menyiapkan aktivitas-aktivitas di luar rencana, cenderung menghabiskan uang untuk tanggap darurat, mitigasi, dan persiapan, selain menandai ini sebagai situasi serius (bukan santai seperti manajemen pariwisata)," paparnya.

 

4 dari 5 halaman

Mitigasi Bencana

Terkait mitigasi bencana, AJWLM menyebut selalu berkomunikasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Kegunungapian.

"Pemandu juga selalu dibekali dengan HT (handy-talkie), karena sinyal HP di atas kadang jelek," tutur Dardari. "Masing-masing operator memantau anggotanya yang sedang menjalankan armada (jip wisata) untuk mengantar wisawatan yang mana segala sesuatunya itu sudah dipersiapkan. Kuncinya selalu berkoordinasi."

Masih terkait mitigasi bencana, Nyoman mengatakan, itu seharusnya dilakukan sama dengan daerah lain yang tidak termasuk kategori destinasi wisata. "Tambahannya, daerah tersebut jadi destinasi, ada turis di situ. Pengurangan risiko kalau terjadi bencana terhadap wisatawan seperti apa," katanya.

"Erupsi Gunung Agung di Bali, misalnya. Tidak hanya memitigasi masyarakat lokal, tapi juga wisatawan yang kebetulan ada di Bali saat itu. Ada dinamika terkait ini, pertama, soal pengkomunikasian. Misalnya, penggunaan bahasa Inggris," tuturnya.

"Kemudian, ada juga kultur, budaya, atau kebiasaan wisatawan yang berbeda. Ada gaya hidup wisatawan yang menganggap gunung meletus itu biasa. Mereka melakukan pendekatan sains. Karena itu, ada upaya lebih yang dilakukan di destinasi wisata, yakni memberi pemahaman dan upaya pertolongan yang cepat pada wisatawan," ia mengatakan.

Pasalnya, Nyoman menyambung, wisatawan belum tentu mengenali tempat mereka berwisata. "Beda dengan masyarakat lokal yang sudah paham medan dan tahu tempat yang aman," katanya.

 

 

5 dari 5 halaman

Pengaruh Wisata Bencana pada Citra Pariwisata Indonesia

Soal pengaruh wisata bencana pada citra pariwisata Indonesia, Nyoman mengatakan bahwa itu tergantung motif orang yang berwisata ke daerah bencana itu. "Untuk apa dan kapan dilakukan," katanya.

"Kalau sudah jauh dengan kejadian bencana, kehidupan masyarakat sudah normal, wisawatan datang untuk mempelajari apa yang terjadi dan mengambil hikmah dari kejadian itu, sharing pengalaman dengan warga, itu akan memberi citra positif," ia menuturkan.

"Tapi, kalau wisata dilakukan sesaat setelah bencana, dalam hitungan hari, kemudian mengunggah foto di media sosial bahwa mereka datang ke situ sebagai turis, citra yang jelek justru bukan pada destinasi, tapi orang yang melakukan itu. Kita harus paham bahwa orang lokal tidak bisa menyalahkan orang yang datang ke tempat bencana sesaat setelah terjadi bencana," paparnya.

Sementara itu, terkait persiapan menyambut liburan akhir tahun, Dardiri menyebut bahwa pihaknya sudah mulai melakukan pengecekan terhadap masing-masing armada jip wisata. "Kami punya tim internal untuk melakukan pengecekan," ucapnya, menambahkan bahwa otoritas setempat juga sering kali bergabung untuk melakukan pemeriksaan tersebut.

Jadi, tertarikah Anda untuk berwisata bencana?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.