Sukses

Akhirnya, Burung Endemik Kalimantan Kembali Ditemukan Setelah Hilang 172 Tahun

Awalnya, burung endemik Kalimantan ini disangka sebagai spesies baru karena tak ditemukan kecocokan pada data literatur.

Liputan6.com, Jakarta - Sempat tak terdeteksi selama 172 tahun, burung endemik Kalimantan, burung pelanduk kembali teridentifikasi. Menurut keterangan Teguh Willy Nugroho, PEH Pertama Balai Taman Nasional Sebangau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ditemukan, burung ini sempat dianggap spesies baru.

"Karena menurut spesimen, kami tidak menemukan kesamaan warna paruh, iris mata, dan kaki. Menurut data, kaki burung pelanduk berwarna pink, tapi tidak terlihat si sini," katanya dalam virtual media briefing, Selasa (2/3/2021).

Ia kemudian menjelaskan kronologi identifikasi burung pelanduk yang bermula pada 5 Oktober 2020. Saat itu, seorang warga Kecamatan Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Suranto menemukan "burung tak biasa." "Itu ditemukan di hutan perbukitan dan wilayah itu bukan masuk kawasan konservasi," tuturnya.

Suranto kemudian memberitahu rekannya Fauzan, dan menyambungkan informasi tersebut pada komunitas GALEATUS melalui admin grup, Doddy, pada 7 Oktober 2020. Komunitas itu kemudian sepakat membuat grup diskusi dengan nama "New Species," keesokan harinya, 8 Oktober 2020.

Berselang sehari, 9 Oktober 2020, Irham dari LIPI menyatakan burung tersebut merupakan keluarga Malacopteran. Identifikasi sebagai burung pelanduk disambung kecurigaan anggota bernama Panji, seorang birdpacker, pada 10 Oktober 2020. Baru pada 30 Oktober 2020, Yong Ding Li dari Birdlife membantu mengoreksi draft jurnal.

Draf jurnal akan identifikasi burung pelanduk itu kemudian diterima Oriental Bird Club pada 5 November, hingga dirilis melalui Jurnal BirdingAsia vol. 34 halaman 13--14 pada 25 Februari 2021. "Kurangnya literatur akan data-data burung tersebut membuat proses identifikasi awal sangat sulit," tutur Teguh.

Kurangnya data akan burung endemik Kalimantan itu juga disoroti Tri Haryoko, peneliti burung Pusat Peneliatan Biologi LIPI. "Punya banyak sekali PR untuk melengkapi data. Misal, karakter genetik saja belum diketahui, suaranya belum pernah direkam. Populasinya juga berapa banyak, itu belum tahu," katanya. 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pentingnya Peran Citizen Science

Berkaca pada kronologi penemuan burung pelanduk, Tri menyinggung pentingnya mendorong peran citizen science. Ini memungkinkan masyarakat turut serta dalam mengumpulkan, mengarsipkan, menganalisa, dan berbagi data keanekaragaman hayati untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

"Di samping itu juga perlu meningkatkan kesadaran konservasi, kemudan akses informasi, dan membangun basis data keanekaragaman hayati," tuturnya. Tri pun menyarankan tindak lanjut dari penemuan ini, yakni perlindungan dan penelitian lebih mendalam terkait burung pelanduk.

Sementara itu, Indra Eksploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK, menanggapi penemuan ini dengan menjelaskan regulasi melalui PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Berdasarkan keterangan di pasal lima, ada tiga identifikasi tumbuhan maupun satawa yang wajib ditetapkan dalam golongan dilindungi. Pertama, mempunyai populasi yang kecil. Kemudian, adanya jumlah penurunan populasi yang tajam pada jumlah individu di alam. Terakhir, daerah penyebarannya yang terbatas atau endemik. 

3 dari 3 halaman

3 Manfaat Tracing Putus Rantai Penularan COVID-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.