Sukses

Rancangan Hukum Baru di Inggris bagi Korban Pemerkosaan, Hindari Tuntutan Tak Masuk Akal Polisi

Canangan hukum ini bermaksud menghentikan polisi menyelidiki riwayat seksual sekaligus mempertahankan hak privasi para korban pemerkosaan.

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan hukum baru di Inggris terkait korban pemerkosaan telah diajukan. Melansir laman Daily Mail, Rabu (24/2/2021), korban pemerkosaan nantinya dapat meminta pengacara yang didanai pembayar pajak untuk menghentikan polisi menyelidiki riwayat seksual dan mengungkap nomor telepon mereka.

Komisaris Korban untuk Inggris dan Wales telah menyerukan Undang-Undang Korban untuk memastikan perempuan memiliki "pengacara di pihak mereka" ketika melaporkan insiden pemerkosaan.

Pihaknya melalui Dame Vera Baird berpendapat bahwa korban pelecehan seksual harus memiliki hak atas pengacara yang didanai bantuan hukum. Itu bermaksud menantang tuntutan tak masuk akal dari petugas yang ingin mengunduh seluruh konten ponsel pribadi, mengintip isi email, sekaligus riwayat pencarian internet.

Sebagai langkah baru, seorang pengacara akan berada di sisi korban di kantor polisi yang bertugas melindungi privasi mereka dan menghentikan "permintaan informasi pribadi yang berlebihan."

Ini termasuk menangkal "tawaran mengganggu" untuk menyelidiki catatan kesehatan korban pemerkosaan atau pertanyaan tak pantas tentang riwayat seksual mereka dan apa yang dikenakan saat penyerangan.

Sejak awal pandemi COVID-19, terjadi 79 persen peningkatan jumlah kasus pemerkosaan yang berakhir tanpa hukuman karena saksi dan korban menarik diri, sementara tak sedikit yang menjalani proses hukum selama bertahun-tahun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mengembalikan Kepercayaan

Dalam perubahan besar tentang bagaimana korban pemerkosaan diperlakukan, kebijakan baru merujuk pada "hak hukum bagi semua korban untuk diberikan perwakilan hukum gratis terkait keputusan polisi, jaksa, atau pengadilan yang mengancam hak privasi mereka."

Dame Vera mengatakan, reformasi diperlukan untuk mengatasi kepercayaan yang menurun dalam proses peradilan pidana. "Korban adalah 'peserta' dari awal hingga akhir, tapi mereka saat ini diperlakukan lebih seperti penonton. Beberapa dari mereka merasa lebih buruk untuk proses itu daripada yang dirasakan karena pelanggaran," tuturnya.

Dalam skema percontohan, baru-baru ini, yang mengamati 83 penuntutan pemerkosaan, pengacara hukum yang mewakili korban berhasil menantang permintaan data polisi dalam 47 persen kasus. Diluncurkan secara nasional, diperkirakan skema tersebut dapat menelan biaya 3,9 juta pound sterling setahun.

"Semakin banyak korban menarik dukungan mereka untuk penuntutan dan, dalam survei saya baru-baru ini terhadap pelapor pemerkosaan, hanya sekitar satu dari tujuh yang mengatakan mereka merasa pelaporan dapat berakhir dengan keadilan," kata Dame Vera.

Karenanya, untuk mendapatkan kembali kepercayaan para korban, pihaknya mengungkap sangat dibutuhkan perubahan budaya dalam cara sistem peradilan memperlakukan mereka. Sementara itu, seorang juru bicara pemerintah mengatakan akan berkonsultasi tentang hukum korban pada akhir tahun 2021.

"Kami juga menginvestasikan jutaan (Pound sterling) dalam layanan dukungan vital, merekrut lebih banyak penasihat pelecehan seksual dan domestik yang lebih independen, serta meninjau seluruh tanggapan terhadap pemerkosaan untuk membangun kembali kepercayaan pada sistem peradilan," tuturnya.

 

3 dari 3 halaman

Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.