Sukses

Apabila Sedang Haid saat Haji, Bolehkah Melaksanakan Wukuf?

Suci dari hadas kecil maupun besar merupakan bagian dari adab dan keutamaan saat wukuf.

Liputan6.com, Jakarta - Ibadah haji tidak dapat dilepaskan dari ritual wukuf, yaitu berdiam (hadir) di Padang Arafah mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbitnya fajar shadiq hari Nahar, bahkan wukuf menjadi bagian sentral ibadah haji yang diwajibkan sekali dalam seumur hidup itu. Wukuf di Arafah termasuk rukun haji berdasarkan riwayat Abdurrahman al-Daili: 

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَجُّ عَرَفَاتٌ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ  

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Haji itu  adalah wukuf di Arafah, maka barang siapa yang telah melakukan wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah menjalankan haji" (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya, hadis sahih).  

Sebelum wukuf, disunnahkan mandi terlebih dahulu, sebab Ibnu Umar saat hendak berangkat menuju Arafat mandi terlebih dahulu.

Alasan lain wukuf merupakan ibadah yang bersentuhan dengan perkumpulan banyak orang, sehingga disyariatkan mandi terlebih dahulu seperti ibadah Jumat dan sholat hari raya yang dihadiri oleh banyak orang.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hukum Wukuf Ketika dalam Keadaan Haid

Lantas bagaimana dengan jamaah haji perempuan yang tengah mengalami haid, apakah sah dan boleh melaksanakan wukuf? Ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Idlah bahwa salah satu adab wukuf adalah dilakukan dalam keadaan suci. 

Dengan demikian, wukuf yang dilakukan jamaah haji yang tengah menstruasi adalah sah, meski ia kehilangan keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Al-Nawawi berkata:  

 اَلسَّابِعَةُ الْأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ مُتَطَهِّرًا سَاتِرًا عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مَكْشُوْفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وُقُوْفُهُ وَفَاتَتْهُ الْفَضِيْلَةُ

Artinya: “Kesunnahan dan adab wukuf yang ketujuh. Yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga bila seseorang wukuf dalam keadaan berhadats, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan”.

Berdasarkan referensi tersebut dapat dipahami bahwa kondisi menstruasi tidak mencegah keabsahan wukuf, sebab hanya berkaitan dengan keutamaan, bukan kewajiban.   

Bila memungkinkan, jamaah haji yang tengah haid tentu lebih baik menunggu sucinya selama durasi waktu wukuf masih tersedia untuk memperoleh keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Namun bila tidak memungkinkan, semisal dengan menunggu suci berakibat ketinggalan rombongan sehingga dapat mengancam keselamatannya, maka hendaknya ia tetap mengikuti alur pemberangkatan rombongan meski berwukuf dalam keadaan haid, sebab menjaga keselamatan diri merupakan kewajiban, sementara wukuf dalam keadaan suci adalah kesunnahan/keutamaan.   

Kaidah fiqih menegaskan, “al-Wâjibu lâ yutraku illâ li wâjibin”(kewajiban tidak dapat ditinggalkan kecuali karena kewajiban lainnya), sebagian ulama meredaksikan dengan bunyi kaidah “al-wâjibu lâ yutraku li sunnatin”(kewajiban tidak boleh ditinggalkan karena kesunnahan). 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.