Sukses

3 Bahaya Erupsi Gunung Menurut BNPB, Ini Contoh Kasusnya

Indonesia, dengan 127 gunung api aktif, memiliki risiko tinggi terhadap bahaya erupsi gunung.

Liputan6.com, Jakarta - Erupsi gunung berapi bisa menjadi salah satu bencana alam paling mematikan dan merusak. Saat gunung meletus, semburan abu, lava, dan material lainnya bisa meluluhlantakkan daerah sekitarnya, menimbulkan kerusakan luas, dan mengancam jiwa manusia.

Indonesia, dengan 127 gunung api aktif, memiliki risiko tinggi terhadap bahaya erupsi gunung. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami jenis-jenis bahaya erupsi gunung yang dapat terjadi dan bagaimana menghadapinya.

Melansir dari keterangan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada tiga jenis bahaya erupsi gunung yang perlu diperhatikan. Bahaya primer, yaitu bahaya yang langsung muncul saat gunung meletus, seperti aliran awan panas, leleran lava, dan gas beracun. Bahaya sekunder muncul setelah letusan, seperti lahar hujan dan banjir bandang. Terakhir, bahaya kolateral yang merupakan dampak lanjutan, termasuk gerakan tanah, penyakit endemik, dan tsunami.

Penting untuk memahami bahaya erupsi gunung dan contoh kasusnya agar dapat mengurangi risiko dan mempersiapkan diri.

Contoh kasus dari seluruh dunia menunjukkan betapa berbahayanya erupsi gunung api. Sebagai contoh, letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi menewaskan ribuan orang, sedangkan letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 memicu tsunami yang menyebabkan ribuan korban jiwa.

Berikut Liputan6.com ulas bahaya erupsi gunung menurut BNPB dan contoh kasusnya tersebut, Selasa (23/4/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bahaya Primer

Bahaya primer adalah dampak langsung yang terjadi akibat letusan gunung api, yang umumnya muncul segera setelah erupsi. Jenis bahaya erupsi gunung ini mencakup aliran awan panas, yang dapat melaju dengan kecepatan tinggi dan menghancurkan segala yang dilaluinya.

Selain itu, lahar letusan atau lumpur panas dapat menghanyutkan material besar dan merusak struktur bangunan. Jatuhan piroklastik dan hujan abu juga dapat menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur, tanaman, serta berdampak buruk pada kesehatan pernapasan.

Leleran lava dan gas vulkanik beracun merupakan bagian lain dari bahaya erupsi gunung primer yang juga sangat merusak. Leleran lava yang keluar dari kawah dapat membakar apa saja di jalurnya, sementara gas beracun dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan dan lingkungan. Bahaya erupsi gunung yang primer sering kali menyebabkan kerusakan besar pada lanskap sekitar gunung dan dapat menelan korban jiwa.

Misalnya, saat letusan Gunung Merapi pada 2010, aliran awan panas dan leleran lava merusak area sekitar lereng gunung, menyebabkan korban jiwa, dan mengganggu aktivitas masyarakat sekitar. Selain itu, gas vulkanik beracun dapat membahayakan kesehatan penduduk dan hewan di sekitar gunung.

Contoh lainnya, letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi. Letusan ini menghasilkan aliran piroklastik yang sangat kuat, menghancurkan kota Pompeii dan Herculaneum, serta menewaskan ribuan orang. Selain itu, letusan Gunung St. Helens di Amerika Serikat pada tahun 1980 menghasilkan aliran piroklastik dan ledakan besar yang mengubah lanskap sekitar gunung, menyebabkan kerusakan hutan yang luas, dan menewaskan 57 orang.

3 dari 4 halaman

Bahaya Sekunder

Bahaya sekunder adalah bahaya tidak langsung yang muncul dari efek lanjutan letusan gunung api. Bentuk paling umum dari bahaya erupsi gunung sekunder adalah lahar hujan, yaitu ketika endapan material vulkanik yang terakumulasi di lereng gunung terbawa oleh air hujan.

Aliran lahar ini bisa sangat kuat dan cepat, menyebabkan perubahan topografi sungai, menghancurkan jembatan, dan merusak jalan-jalan. Lahar hujan juga dapat mengakibatkan banjir bandang yang menimbulkan kerusakan serius pada rumah-rumah dan area pertanian di sepanjang jalurnya.

Selain lahar hujan, bahaya erupsi gunung sekunder dari erupsi gunung api bisa mencakup longsoran vulkanik dan banjir lumpur. Longsoran vulkanik terjadi ketika lereng gunung menjadi tidak stabil akibat aktivitas vulkanik, mengakibatkan tanah dan batuan runtuh. Fenomena ini dapat menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur dan lingkungan.

Contoh kasusnya, banjir lahar hujan yang terjadi di Kaliurang Barat, Sleman, DIY, pada awal Februari 2021, merusak jaringan pipa air bersih. Selain lahar hujan, bahaya sekunder lainnya meliputi banjir bandang dan longsoran vulkanik, yang bisa menyebabkan kerusakan luas pada lingkungan dan infrastruktur.

Lalu, contoh kasus yang terkenal di dunia adalah letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991. Letusan ini menghasilkan sejumlah besar material vulkanik yang tertinggal di lereng gunung dan terbawa oleh hujan, menciptakan lahar yang mengalir ke sungai-sungai dan merusak desa-desa di sekitarnya.

Selain itu, longsoran vulkanik yang terjadi setelah letusan Gunung Montserrat di Karibia pada tahun 1995 menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur dan mengakibatkan pemindahan penduduk dalam jumlah besar.

4 dari 4 halaman

Bahaya Kolateral

Bahaya kolateral adalah bahaya yang timbul akibat dampak letusan gunung api, tetapi tidak secara langsung terkait dengan erupsi itu sendiri. Bahaya erupsi gunung ini bisa mencakup berbagai hal, mulai dari gerakan tanah pada tubuh gunung hingga bencana alam lainnya.

Ketika gunung api meletus, perubahan struktural pada tubuh gunung dapat memicu longsoran atau runtuhan besar yang bisa merusak infrastruktur atau bahkan menyebabkan korban jiwa. Bahaya kolateral juga mencakup ancaman penyakit endemik, yang dapat muncul karena kondisi lingkungan yang berubah atau infrastruktur kesehatan yang terganggu akibat letusan.

Selain itu, bahaya erupsi gunung kolateral juga bisa mengakibatkan kelaparan akibat rusaknya lahan pertanian dan penurunan produksi pangan. Kondisi ini dapat memicu krisis kemanusiaan yang luas, terutama jika daerah tersebut sangat bergantung pada sumber daya lokal. Ancaman lainnya adalah tsunami, yang dapat terjadi jika letusan gunung api terjadi di bawah laut atau di dekat badan air besar.

Contoh kasus yang mencolok adalah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Letusan ini tidak hanya menghancurkan sebagian besar pulau, tetapi juga memicu tsunami yang menghantam kawasan pesisir di sekitarnya, menyebabkan lebih dari 36.000 korban jiwa.

Dalam skala yang lebih kecil, letusan Gunung Soufrière Hills di Karibia pada tahun 1997 memicu longsoran dan gempa bumi kecil, mengakibatkan kerusakan signifikan pada infrastruktur dan perumahan.

Contoh dramatis dari bahaya kolateral juga terjadi pada 2018 ketika letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda memicu tsunami yang menerjang kawasan pesisir Banten dan Lampung. Tsunami ini menyebabkan kerusakan yang signifikan dan menelan korban jiwa. Kasus ini tidak lebih parah dari pada tahun 1883.

Bahaya kolateral lainnya termasuk penyakit endemik yang muncul akibat perubahan kondisi lingkungan setelah letusan, yang bisa berdampak serius pada kesehatan masyarakat.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.