Sukses

Kenali Zoom Fatigue, Kelelahan Usai Melakukan Pertemuan Virtual

Meskipun dinamakan “Zoom Fatigue”, fenomena ini tetap dapat terjadi saat kita menggunakan platform konferensi video lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Liputan6.com, Jakarta Selama pandemi COVID-19, banyak hal berubah dari berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya proses interaksi sosial. Kondisi wabah COVID-19 yang dapat menular dengan sangat mudahnya mengakibatkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan segala aktivitas yang memungkinkan terjadinya kerumunan, seperti diantaranya sekolah dan perkantoran. Pertemuan virtual atau daring pun akhirnya menjadi solusi terbaik untuk memastikan aktivitas manusia tetap dapat berjalan dengan baik.

Hal ini pun membuat kita mulai berhubungan akrab dengan berbagai platform konferensi video seperti Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan lainnya. Kebijakan Work From Home (WFH) ataupun School From Home (SFH) yang ditetapkan pemerintah membuat para pekerja maupun pelajar kerap menghabiskan waktu di depan laptop untuk melakukan pertemuan virtual atau online meeting.

Dengan konsep yang sangat sederhana dimana kita hanya perlu duduk di depan laptop untuk berinteraksi dengan rekan kerja ataupun teman sekolah, tentu hal ini seharusnya tidak begitu memberatkan. Namun akhir-akhir ini, mulai muncul keluhan timbulnya perasaan lelah setelah melakukan online meeting bahkan melebihi lelah ketika melakukan pertemuan secara tatap muka. Mengapa demikian?

Fenomena ini dikenal dengan nama Zoom Fatigue, yaitu suatu kondisi ketika seseorang merasa sangat lelah karena terlalu sering melakukan pertemuan virtual atau online meeting. Meskipun dinamakan “Zoom Fatigue”, fenomena ini tetap dapat terjadi saat kita menggunakan platform konferensi video lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

 

 

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Otak Bekerja Lebih Keras

(Wind, 2020) mengungkapkan hal ini dapat terjadi karena otak kita harus bekerja lebih keras dalam menafsirkan komunikasi non-verbal. Ketika kita berinteraksi dengan seseorang secara langsung, kita tidak hanya mendengarkan suara ataupun melihat wajah mereka tetapi juga memperoleh makna tambahan dengan menangkap isyarat sosial seperti gestur tubuh dan bahkan kita juga dapat merasakan emosi ataupun energi dari orang tersebut. Jumlah massa saraf yang luar biasa didedikasikan untuk membaca wajah orang, merasakan emosi, isyarat sosial, suasana, dan intuisi. (Zillmer, 2020).

Dengan kebiasaan untuk menangkap segala stimulus tersebut ketika berinteraksi secara langsung, maka otak kita terbiasa untuk mengidentifikasi pola-pola tertentu dalam berinteraksi. Dan ketika interaksi ini berubah dari tatap muka menjadi virtual atau daring yang mana membatasi kita untuk dapat menangkap berbagai stimulus tersebut, otak harus bekerja lebih keras dalam memproses informasi yang didapatkan. Hal ini dikarenakan pembingkaian pada platform konferensi video yang hanya membatasi visual seseorang hanya dari kepala hingga bahu mengakibatkan isyarat sosial yang biasanya menjadi bagian di dalam interaksi kita sehari-hari tidak dapat teridentifikasi. Dan hal ini lah yang akhirnya mengakibatkan stress pada pikiran dan energi yang terkuras lebih banyak dari biasanya.

Selain itu, dengan konsep konferensi video yang mana menggabungkan berbagai kepala dalam satu layar laptop ataupun ponsel mengakibatkan otak harus kembali bekerja keras dalam membagi perhatiannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh (Zillmer, 2020) bahwa otak hanya dapat memperhatikan satu hal pada satu waktu dimana lobus frontal yang dikenal sebagai konduktor otak mungkin terlihat melakukan berbagai tugas dalam waktu bersamaan namun sebenarnya tidak demikian. 

Hal lainnya yang juga mempengaruhi terjadinya Zoom Fatigue adalah adanya perasaan menjadi pusat perhatian sebagaimana yang dikatakan oleh (Concannon, 2020). Dengan fitur konferensi video yang memungkinkan kita untuk melihat diri kita sendiri di layar, yang mana ini merupakan sesuatu yang tidak kita alami saat berinteraksi dengan orang secara langsung. Hal ini membuat otak mempersepsikan bahwa kita menjadi sebuah pusat perhatian dan pada akhirnya kita kerap merasakan berbagai tekanan untuk berpenampilan ataupun berperilaku sedemikian rupa.

Studi terkait Zoom Fatigue ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh sebuah badan penelitian tentang kontak mata yang menyatakan bahwa isyarat sosial merupakan suatu hal yang penting dan memiliki pengaruh kuat dalam memengaruhi sebuah interaksi sosial. Dalam penelitiannya, partisipan dipantau menggunakan EEG saat ditatap dari jarak 2 hingga 32 kaki dan hasilnya aktivitas otak para partisipan memuncak pada saat mereka ditatap dari jarak dua kaki. (Pinker,2020) mengungkapkan percakapan tatap muka menghasilkan pelepasan neurotransmiter seperti dopamin, terkait dengan perasaan senang.

Dengan kondisi seperti ini yang akan memungkinkan kita untuk terus menggunakan konferensi video dalam beberapa waktu ke depan untuk beraktivitas dan berinteraksi, Zoom Fatigue mulai menjadi suatu hal yang harus kita perhatikan dan juga pikirkan. Jika terus berlangsung tanpa pencegahan yang baik, maka akan berdampak pada kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya Zoom Fatigue?

3 dari 4 halaman

Cegah Zoom Fatigue

Yang pertama adalah mengatur agenda dan durasi online meeting dengan baik. Setelah otak dipaksa untuk bekerja keras selama konferensi video, alangkah baiknya kita juga harus mempersiapkan waktu istirahat yang seimbang. Berikan jeda antar meeting satu dengan meeting lainnya dan juga pastikan bahwa meeting berjalan dengan efektif dengan membuat susunan acara atau menargetkan durasi meeting berlangsung agar kita tidak membuang-buang waktu dengan berlama-lama di depan layar yang membuat otak dan tubuh semakin lelah.

Kemudian, kita dapat mengubah tampilan layar online meeting. Jangan menggunakan fitur gallery view yang memungkinkan kita untuk melihat semua partisipan yang ada di konferensi video tersebut, hal ini dapat membuat otak bekerja lebih keras karena dipaksa untuk fokus pada semua orang. Lebih baik menggunakan fitur speaker view ataupun pin video sehingga kita dapat memfokuskan diri untuk hanya memerhatikan orang yang sedang berbicara.

Menonaktifkan kamera jika memungkinkan juga dapat membantu pencegahan timbulnya Zoom Fatigue. Sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas terkait persepsi otak tentang menjadi pusat perhatian ketika kita melihat diri sendiri di layar, maka dengan menonaktifkan kamera bisa sedikit membantu menghilangkan tekanan untuk tampil sedemikian rupa.

Dan hal terakhir yang dapat dilakukan adalah menjauhkan diri dari ponsel, laptop, tablet, dan gawai lainnya ketika sedang tidak memiliki agenda untuk melakukan konferensi video. Hal ini sangat penting untuk mengistirahatkan dan memberikan waktu pada otak untuk menetralkan dan mengatur ulang fokus terhadap hal-hal di luar dunia digital. Matikan gawai kita selama satu atau dua jam dan berikan waktu untuk diri sendiri untuk menikmati dunia sekitar dengan tenang. Setelah otak dan tubuh diberikan waktu cukup untuk beristirahat, niscaya kita akan lebih siap untuk melakukan konferensi video selanjutnya.

 

(Adhisty Michelia Alba, Mahasiswi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Brawijaya)

4 dari 4 halaman

Infografis

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.