Sukses

Krisis Ekonomi, Pemerintah Mesir Minta Rakyatnya Makan Ceker Ayam

Mesir kini terkena krisis ekonomi semakin dalam, makanan yang terjangkau sulit ditemukan. Pemerintah pun meminta rakyatnya untuk memakan ceker ayam.

Liputan6.com, Kairo - Mesir menderita inflasi terburuk dan krisis mata uang dalam lima tahun, demikian dilansir dari CNN, Sabtu (21/1/2023).

Hal ini pun membuat makanan menjadi sangat mahal, sehingga banyak orang Mesir tidak mampu lagi membelinya. Salah satunya adalah kemampuan untuk membeli ayam yang merupakan makanan pokok.

Begitu Mesir mulai pulih dari pandemi COVID-19, perang antara Rusia dan Ukraina memberi dampak negatif di berbagai sektor.

Situasi ekonomi Mesir cukup memprihatinkan yang kemudian membuat pemerintah meminta rakyatnya untuk makan ceker ayam. National Institution for Nutrition atau Lembaga Gizi Nasional di Mesir juga mengimbau masyarakat setempat untuk beralih dari daging ayam ke ceker ayam. 

Sebelumnya, harga unggas naik dari 30 pound Mesir (sekitar Rp 15 ribu) per kilogram pada 2021, menjadi sebanyak 70 pound Mesir (berkisar Rp 35 ribu) pada Senin 16 Januari 2023.

Keputusan dari pemerintah tersebut membuat banyak masyarakat Mesir marah. Sebab, ceker ayam merupakan simbol kemiskinan ekstrem di negara itu. Di Mesir, ceker ayam dipandang sebagai bahan daging termurah dan sebagian besar dianggap sebagai kotoran hewan daripada makanan.

Akibat rekomendasi untuk beralih ke ceker ayam, harga satu kilogram ceker dilaporkan naik dua kali lipat menjadi 20 pound Mesir (10 ribu rupiah).

Menanggapi keputusan tersebut, pemerintah dan pihak berwenang mengatakan bahwa hampir 30 persen populasi Mesir berada di bawah garis kemiskinan. Sementara sebelumnya, Bank Dunia pada 2019 memperkirakan bahwa populasi kemiskinan di Mesir mencapai sekitar 60 persen.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Alasan di Balik Krisis Ekonomi Mesir

Mesir telah mengalami sejumlah krisis keuangan selama dekade terakhir, yang kemudian memaksanya mencari dana talangan dari kreditur seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan sekutu Teluk Arab.

Namun, Mesir telah terjebak dalam siklus peminjaman yang menurut para analis menjadi tidak berkelanjutan. Menurut laporan dari IMF, utangnya tahun ini berjumlah 85,6 persen dari ukuran ekonominya.

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan ekonomi Mesir yakni peran militer yang terlalu besar, yang menurut para analis melemahkan sektor swasta. Kemudian, alokasi dana besar untuk proyek-proyek besar seperti menara tertinggi di Afrika, serta ibu kota baru di padang pasir yang menampung pertahanan.

Tidak hanya itu, perekonomian Mesir mengalami pukulan signifikan dalam dua tahun terakhir akibat pandemi Covid-19. Ditambah kejadian Rusia menginvasi Ukraina yang menekan cadangan mata uang asing dan kenaikan harga bahan bakar mendorong kenaikan inflasi.

Pandemi COVID-19 membuat investor menarik 20 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dari Mesir pada 2020. Kejatuhan ekonomi dari perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan jumlah yang sama.

Alhasil, pound Mesir kehilangan hampir setengah nilainya selama setahun terakhir.

Dalam dana talangan terbaru yang disepakati pada bulan Desember 2022, IMF meminjamkan 3 miliar dolar AS ke Mesir. Ini diharapkan dapat membantu mengkatalisasi tambahan 14 miliar dolar AS dengan dukungan dari mitra internasional dan regional Mesir, termasuk negara-negara Teluk yang kaya minyak.

3 dari 4 halaman

Pendapat IMF Terkait Ini

Pinjaman IMF tahun ini dikondisikan pada Mesir yang menerapkan sejumlah reformasi struktural. Kali ini, pemberi pinjaman menghadapi militer Mesir yang kuat.

Bersamaan dengan memperkenalkan nilai tukar yang fleksibel, yang memungkinkan nilai mata uang ditentukan oleh pasar dan bukan oleh bank sentral, IMF juga meminta agar Mesir mengurangi peran negara. Termasuk militer, ekonomi, dan memperlambat proyek nasional untuk membatasi tekanan pada mata uang serta inflasi.

"Apa yang luar biasa tentang hal ini adalah mencakup perusahaan militer Mesir," tulis Yezid Sayigh, seorang peneliti senior di Pusat Timur Tengah Malcolm H. Kerr Carnegie, Beirut, Lebanon.

"Ini bertentangan dengan kesan awal yang diberikan oleh pengumuman perjanjian pinjaman pada Oktober 2022, bahwa IMF tidak menggunakan dananya untuk menempatkan perusahaan militer dalam agenda," tambahnya.

IMF juga menuntut agar semua perusahaan, termasuk yang dimiliki oleh militer, untuk menerbitkan laporan tahunan dengan perincian dan perkiraan pembebasan pajak dan keringanan pajak. Selain itu, IMF juga masih harus melihat apakah laporan ini akan dipublikasikan atau tidak.

Timothy Kaldas, peneliti kebijakan Tahrir Institute for Middle East Policy di Washington DC, mengatakan bahwa banyak masyarakat Mesir ingin tahu seberapa kaya militer dan juga tingkat risiko yang ditimbulkan oleh kerajaan ekonomi militer Mesir.

"Salah satu tantangan saat ini untuk memahami tingkat risiko ekonomi Mesir adalah kita tidak tahu berapa banyak uang yang dipinjam perusahaan militer," kata Kaldas.

4 dari 4 halaman

Peran Militer dalam Ekonomi Mesir

Sektor swasta di Mesir menyusut dalam tujuh tahun terakhir, menurut Kaldas.

Purchasing Managers’ Index (PMI) atau Indeks Manajer Pembelian Mesir The S&P Global untuk bulan Desember, yang mengukur kesehatan sektor swasta non-minyak Mesir, menunjukkan "penurunan yang solid". Angkanya tetap di bawah 50 yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat selama 25 bulan berturut-turut.

Militer Mesir memiliki dan mengoperasikan sejumlah besar perusahaan yang bersaing dengan perusahaan swasta. Mulai dari pompa bensin dan obat-obatan hingga daging dan susu, perusahaan milik militer merupakan bagian besar dari perekonomian Mesir.

Namun, perusahaan-perusahaan tersebut tidak beroperasi seperti perusahaan swasta, yakni menikmati hak istimewa tanpa mengungkapkan data keuangannya kepada publik.

Militer juga mempelopori proyek nasional besar Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi yang menurut para kritikus telah menyedot banyak dana Mesir.

Pihak berwenang telah berjanji untuk mendaftarkan perusahaan milik negara, termasuk perusahaan milik militer, di bursa saham, sebuah rencana yang bertujuan untuk melibatkan sektor swasta dalam pengelolaannya.

Namun, rencana tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Para ahli dan analis skeptis tentang hal ini mengingat kerahasiaan yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.