Sukses

Video: Mahasiswa Afghanistan Walk Out Protes Larangan Wanita Kuliah

Mahasiswa Afghanistan menggelar aksi walk out.

Liputan6.com, Taliban - Sebuah video viral menampilkan para mahasiswa Afghanistan melakukan aksi walk out untuk protes kebijakan terbaru Taliban yang melarang anak perempuan kuliah. Kebijakan represif ini memvalidasi kekhawatiran sejumlah kalangan terkait masa depan para perempuan di pemerintahan Taliban.

Video itu disebar di Twitter oleh seorang jurnalis yang pernah menjadi koresponden berita di Afghanistan. Para mahasiswa itu disebut berasal dari universitas di Nangarhar.

Para mahasiswi tampak bertepuk tangan ketika rekan-rekan pria mereka melakukan aksi walk out. Pada video lain, para mahasiswa tersebut tampak protes di luar gedung.

"Mahasiswa di universitas Nangarhar berjalan keluar dari ujian mereka untuk menampilan solidaritas dengan mahasiswi untuk memprotes pencekalan Taliban terkait pendidikan perempuan," tulis jurnalis Abdulhaq Omeri via Twitter, dikutip Kamis (22/12/2022).

Omeri turut menambahkan tagar #LetHerLearn

Video lain yang Omeri bagikan menampilkan para mahasiswi Afghanistan yang menangis ketika mengetahui keputusan pelarangan kuliah dari rezim Taliban.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Wanita Dilarang Jadi Mahasiswi oleh Taliban

Wanita kembali kena getah dari kebijakan Taliban yang mengendalikan Emirat Islam Afghanistan. Universitas-universitas kini hanya terbuka untuk laki-laki saja. 

Dilaporkan BBC, Rabu (21/12), kebijakan baru ini diumumkan oleh menteri pendidikan tinggi di Afghanistan dan akan segera diterapkan. Sebelumnya, akses siswi perempuan di SMA juga telah dibatasi.

Seorang mahasiswi di Kabul mengaku terus menangis usai mendengar kabar pelarangan kuliah tersebut.

Tiga bulan lalu, ada ribuan gadis yang ikut ujian masuk perguruan tinggi. Saat itu pun sudah ada pembatasan kuliah bagi para perempuan karena mereka hanya bisa mengambil jurusan-jurusan tertentu. 

Bidang engineering, ekonomi, agrikultur, dokter hewan dilarang untuk perempuan, dan jurnalisme juga dibatasi.

Setelah Taliban berhasil merebut kekuasaan, mereka juga mulai memisahkan tempat laki-laki dan perempuan di kampus, tempat masuk pun juga dibedakan. Mahasiswi hanya boleh diajari oleh dosen wanita atau laki-laki tua. 

Merespons kebijakan baru ini, seorang mahasiswi berkata ke BBC bahwa Taliban takut pada wanita. 

"Mereka menghancurkan satu-satunya jembatan yang dapat menyambungkan saya dengan masa depan saya," ujar mahasiswi tersebut. "Bagaimana saya mesti bereaksi? Saya tadinya percaya bahwa saya dapat belajar untuk mengubah masa depan atau membawa cahaya kepada kehidupan saya, tetapi mereka menghancurkannya." 

Mahasiswi lain berkata tadinya ia senang karena bisa lulus dari universitas. Namun, harapan itu dibuat kandas oleh Taliban. 

Deputi Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Robert Wood, mengecam kebijakan terbaru Afghanistan ini. Wood menambahkan bahwa kebijakan seperti ini akan makin menyulitkan Afghanistan diterima oleh komunitas internasional. 

"Taliban tidak bisa berharap untuk menjadi anggota sah komunitas internasional sampai mereka menghormati hak semua rakyat Afgan," ujarnya. 

  

 

3 dari 4 halaman

AS dan Inggris Kecam Aturan Baru Taliban

Kementerian pendidikan yang dikelola Taliban Afghanistan pada Selasa 20 Desember 2022 menangguhkan akses ke universitas bagi siswa perempuan sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Hal ini lantas menuai kecaman keras dari Amerika Serikat, Inggris dan PBB, dikutip dari NST.com.my, Rabu (21/12). 

Sebuah surat, dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian pendidikan tinggi, menginstruksikan universitas negeri dan swasta Afghanistan untuk segera menangguhkan akses ke siswa perempuan, sesuai dengan keputusan Kabinet.

Pengumuman dari pemerintahan Taliban yang belum diakui secara internasional, muncul saat Dewan Keamanan PBB bertemu di New York mengenai Afghanistan.

Pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat, telah mengatakan bahwa perubahan kebijakan tentang pendidikan perempuan diperlukan, jika Taliban ingin mendapatkan pengakuan secara resmi dari negara lain.

Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward mengatakan penangguhan itu adalah upaya untuk "pengurangan hak-hak perempuan. Ini mengerikan dan saya sampaikan rasa kecewa yang mendalam bagi setiap siswa perempuan."

"Ini juga merupakan langkah lain Taliban menjauh dari Afghanistan yang mandiri dan makmur," katanya kepada dewan.

Utusan khusus PBB untuk Afghanistan Roza Otunbayeva mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa keputusan itu "menghancurkan banyak hati perempuan".

Otunbayeva mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa penutupan akses ke sekolah telah "merusak" hubungan pemerintahan Taliban dengan komunitas internasional.

Seorang ibu dari seorang mahasiswa, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan bahwa putrinya meneleponnya sambil menangis ketika mendapat surat itu, karena khawatir dia tidak dapat lagi melanjutkan studi kedokterannya di Kabul.

"Rasa sakit yang tidak hanya saya dan ibu (lainnya) rasakan. Ini sulit untuk dijelaskan. Kami semua merasakan sakit ini, mereka khawatir akan masa depan anak-anaknya," katanya.

4 dari 4 halaman

Hukum Cambuk Berlanjut

Sebelumnya dilaporkan, Pemerintahan Taliban di Afghanistan tetap akan melaksanakan hukum cambuk di depan umum. Negara yang secara resmi bernama Emirat Islam Afghanistan itu menolak saran PBB yang meminta agar hukuman seperti itu ditiadakan. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Selasa (20/12), Mahkamah Agung Taliban, Senin, mengatakan kelompok yang terdiri atas 22 orang, termasuk wanita, dicambuk di stadion olah raga yang penuh sesak di Sheberghan, ibu kota provinsi Jowzjan, Afghanistan utara.

Masing-masing narapidana dicambuk antara 25 dan 30 kali atas dugaan kejahatan, termasuk perzinahan, seks sesama jenis, kabur dari rumah, perdagangan narkoba dan pencurian, kata pernyataan itu. Pengadilan juga melaporkan pada Minggu bahwa 11 pria dan seorang wanita dicambuk di provinsi Ghor karena melakukan kejahatan serupa.

Otoritas Afghanistan telah memberikan hukum cambuk kepada lebih dari 130 pria dan wanita di stadion olah raga yang penuh sesak di beberapa provinsi dan ibu kota, Kabul, sejak pertengahan November, ketika pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, memerintahkan pengadilan untuk menerapkan hukum Islam atau hukuman berbasis Syariah.

Perintah itu juga mengarah ke eksekusi pertama secara terbuka terhadap terpidana pembunuhan sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021.

Para pejabat mengatakan eksekusi di provinsi Farah, Afghanistan barat, dua minggu lalu sesuai “Qisas (pembalasan setimpal), hukum Islam yang menetapkan orang tersebut dihukum dengan cara yang sama seperti korban dibunuh.

Pencambukan dan eksekusi sejauh ini dilakukan di stadion disaksikan pejabat senior Taliban dan anggota masyarakat. Pengadilan tinggi Taliban dalam pernyataannya, Senin, membela penerapan Syariah Islam untuk peradilan pidana. Menurut mereka, itu adalah kunci untuk mewujudkan "perdamaian dan keadilan" di negara itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.