Sukses

PBB Mengaku Dewan Keamanan Gagal Urus Perang Ukraina

PBB mengaku gagal mencegah perang di Ukraina yang hingga kini masih dijajah Rusia.

Liputan6.com, Kyiv - Pemimpin PBB Antonio Guterres mengakui bahwa lembaga yang ia pimpin telah gagal mengurus konflik di Ukraina. Pengakuan itu dibuatnya saat mengunjungi ibu kota Kyiv.

Guterres menyebut invasi Rusia ke Ukraina sebagai mengkritik Dewan Keamanan PBB yang disebut tidak maksimal dalam mengakhiri perang ini.

"Biar saya sangat perjelas, Dewan Keamanan gagal untuk melakukan segala yang mereka bisa untuk mencegah dan mengakhiri perang ini," ujar Guterres dalam konferensi pers bersama Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dikutip Jumat (29/4/2022).

Rusia merupakan anggota Dewan Keamanan PBB yang punya kekuatan veto.

Akan tetapi, Guterres berkata bahwa insan-insan di PBB "bekerja setiap hari bahu membahu bersama banyak organisasi berani di Ukraina."

Guterres juga menyatakan bahwa kata-kata solidaritas saja tidak cukup bagi Ukraina. Ia menyebut bahwa dunia melihat dan mendengarkan perjuangan rakyat Ukraina. 

Lebih lanjut, BBC melaporkan bahwa Presiden Zelensky menggunakan kesempatan itu untuk mengungkap tindakan-tindakan Rusia di negaranya. Rusia dituding melakukan "genosida" di Ukraina. 

Guterres pun menyayangkan kondisi krisis yang terjadi di Mariupol yang membuat kota itu hancur. Kota itu sudah direbut oleh Rusia yang sejak awal invasi menggempur kota tersebut. 

"Ribuan warga sipil perlu bantuan untuk menyelamatkan nyawa, banyak yang orang tua, dan perlu perawatan medis, atau memiliki mobilitas terbatas. Mereka perlu rute pelarian dari kiamat tersebut," ucap Antonio Guterres

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bappenas Ingatkan Perang Ukraina Ikut Ancam Ekonomi Indonesia

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membunyikan alarm di G20 terkait dampak angka panjang perang di Ukraina. Invasi yang dilakukan Rusia bisa mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berusaha pulih dari COVID-19. 

Pada acara 2022 CSIS Global Dialogue, Deputi Bidang Ekonomi di Bappenas Amalia Widyasanti memaparkan laporan terkait dampak perang di Ukraina terhadap Indonesia. Beberapa faktor yang disorot adalah sanksi ekonomi dan masalah suplai gas dari Rusia.  

"Jika berkepanjangan, krisis terkait Rusia-Ukraina bisa menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan perlambatan," ujar Amalia dalam acara bertajuk G20 Indonesia: Windows for Recovering Together and Stronger, Kamis (28/4). 

Kondisi itu lantas bisa berdampak pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ingin tumbuh di atas 5 persen pada tahun ini. 

Berdasarkan data penelitian bersama Oxford Economics, dampak perang bisa memperlambat ekonomi hingga 0,1 persen di 2022, lalu makin berkurang jadi 0,29 persen di 2023 bagi Indonesia. 

Rusia pun ikut rugi. Diprediksi ekonomi negara itu melambat hingga minus 7,10 persen pada 2023. Asumsi yang dipaparkan Bappenas adalah konflik antara Rusia dan Barat diprediksi semakin tereskalasi karena perang yang berkepanjangan. 

Panelis lain yang hadir dari Asia Pacific Research and Training Network (ARTNet) menyebut bahwa ada kemungkinan ekonomi bisa terbantu pulih berkat sektor travel dan pariwisata yang semakin terbuka. Hal itu juga tak terlepas dari program vaksinasi COVID-19. 

"Harapannya, Asia tidak akan secara negatif terdampak perang," ujar Mia Mikic, penasihat di ARTNet.

3 dari 4 halaman

Kekhawatiran Wamenlu RI

Sebelumnya, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar angkat bicara tentang kekhawatirannya mengenai isu geopolitik yang berkembang di benua Eropa. Wamenlu mulai khawatir bahwa fase Perang Ukraina mulai masuk ke skenario yang semakin buruk. 

"Pada situasi perang dan ketegangan geopolitik, saya berpikir kita baru mulai melihat kemungkinan skenario yang memburuk yang akan datang bersama hal tersebut," ujar Mahendra Siregar pada acara CSIS Global Dialogue, Rabu (27/4/). 

Pada pertengahan April 2022, Bank Dunia juga baru saja merilis laporan terbaru mengenai dampak perang di Ukraina terhadap perekonomian global. Bank Dunia menyorot tiga ancaman, pandemi COVID-19, krisis iklim, dan kini ada perang Ukraina. Negara-negara berkembang di luar Eropa juga terancam kena dampak negatif akibat naiknya harga-harga.

Sesuai dengan slogan G20 Indonesia, Recover Together, Recover Stronger, Wamenlu meminta agar kerja sama internasional terus dijalin untuk melewati masa sulit ini. Kerja sama internasional dinilai berhasil membuat dunia menghadapi pandemi COVID-19.

"Sangat jelas bahwa kooperasi dan kolaborasi internasional untuk menghadapi tantangan-tantangan global merupakan suatu hal yang wajib," tegas Wamenlu RI.

Meski demikian, Mahendra yang dulunya adalah duta besar Amerika Serikat juga melihat adanya isu kepercayaan antara negara-negara ekonomi besar. Alhasil, situasi jadi makin sulit.

"Level kepercayaan terutama antara kekuatan ekonomi besar menjadi tantangan tersendiri. Ini adalah realita lain yang menambah kesulitan," ujar Wamenlu Mahendra Siregar.

4 dari 4 halaman

Vladimir Putin Beri Peringatan Soal Intervensi Asing

Setiap negara yang mencoba untuk campur tangan dalam perang Ukraina akan menghadapi tanggapan "secepat kilat", Presiden Rusia Vladimir Putin telah memperingatkan.

"Kami memiliki semua alat yang tidak dapat dibanggakan oleh siapa pun ... kami akan menggunakannya jika perlu", katanya, dalam apa yang dilihat sebagai referensi untuk rudal balistik dan senjata nuklir. Demikian seperti dilansir dari laman BBC, Kamis (28/4). 

Sekutu Ukraina telah meningkatkan pasokan senjata, dengan AS berjanji untuk memastikan Ukraina mengalahkan Rusia. Para pejabat Barat mengatakan Rusia sedang terhambat dalam upayanya di timur.

Pekan lalu, Rusia melancarkan serangan besar-besaran untuk merebut wilayah Donbas setelah menarik diri dari wilayah sekitar ibu kota Kyiv. Namun menurut seorang pejabat, pasukan Rusia "mendapatkan kesulitan untuk mengatasi perlawanan setia Ukraina dan mereka menderita kerugian". 

Dalam perkembangan lain, Komisi Eropa menuduh Rusia melakukan pemerasan setelah Moskow menghentikan ekspor gas ke Polandia dan Bulgaria.

Presiden Komisi, Ursula von der Leyen mengatakan itu menunjukkan "tidak dapat diandalkan" Rusia sebagai pemasok.Kremlin mengatakan Rusia telah dipaksa melakukan tindakan tersebut oleh "langkah-langkah tidak bersahabat" dari negara-negara Barat.

Pemutusan Gazprom mengikuti penolakan Polandia dan Bulgaria untuk membayar gas dalam rubel Rusia - permintaan yang dibuat oleh Presiden Vladimir Putin pada bulan Maret, yang dirancang untuk menopang mata uang yang goyah yang terpukul oleh sanksi Barat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.