Sukses

Tim Khusus PBB Tiba di Yaman Untuk Pantau Gencatan Senjata

Tim advance PBB tiba di Yaman. Mereka bertugas untuk memantau gencatan senjata yang mulai berlaku di Hodeida, kota pelabuhan di Laut Merah.

Liputan6.com, Sana'a - Tim advance PBB dilaporkan telah tiba di pelabuhan Hodeida, Yaman, untuk memantau gencatan senjata dan perjanjian yang disepakati antara pemerintah dan pemberontak Houthi. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (25/12/2018).

Seorang juru bicara PBB, Minggu 23 Desember 2018, mengatakan bahwa Jenderal Purnawirawan Patrick Cammaert asal Belanda, yang memimpin tim tersebut, "terdorong dengan antusiasme kedua pihak untuk bekerja segera."

Cammaert juga mengetuai Komite Koordinasi Penempatan Kembali, yang melibatkan para perwakilan pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi dan para pemberontak Houthi yang didukung Iran.

Kedua pihak itu menyepakati gencatan senjata dan penarikan dari Hodeida dalam pembicaraan di Swedia awal bulan ini. Perjanjian itu berlaku pekan lalu, tapi beberapa pertempuran kecil dilaporkan terjadi di luar Hodeida.

Hodeida telah berada di tangan pemberontak. Hampir semua bantuan pangan dan kemanusiaan untuk Yaman dikirim lewat pelabuhan itu dan apabila ada gangguan pengiriman, bisa menyebabkan warga sipil lebih menderita.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

PBB: Yaman dan Houthi Akan Bahas Solusi Politik pada Dialog Damai Berikutnya

PBB mengatakan, pembicaraan di masa depan antara pemberontak Houthi dan pemerintah Yaman akan mencoba mencari solusi politik atas konflik tersebut. Hal itu disampaikan di tengah dialog damai antara kedua belah pihak di Rimbo, Swedia, yang berlangsung pertengahan pekan lalu.

Sementara itu, delegasi pemerintah Yaman mengatakan bahwa timnya bersedia untuk membahas partisipasi Houthi di Kabinet jika kelompok pemberontak itu melepaskan senjata mereka, demikian seperti dikutip dari The National, Selasa, 11 Desember 2018.

Pihak-pihak yang berseteru di Yaman melanjutkan konsultasi di Swedia pada pertemuan pertama antara kedua belah pihak sejak perundingan pembicaraan tahun 2016.

Seorang pejabat PBB yang berbicara dengan syarat anonimitas pada hari Minggu 9 Desember mengatakan, pemerintah Yaman dan Houthi akan bertemu lagi pada awal 2019.

Pembicaraan di Swedia sejauh ini telah memilah-milah diskusi tentang transisi politik, dengan fokus pada pertukaran tahanan, pembukaan kembali bandara Sanaa dan membuka jalan bagi utusan PBB untuk mengakses pelabuhan Hodeidah di Laut Merah yang strategis.

"Apa pun keuntungan yang kita dapatkan di sini (di Swedia) merupakan titik masuk ke solusi konflik, kita bisa mulai membangun solusi politik pada akhir Januari," kata sumber PBB, "Kami ingin perang berakhir dan kami ingin itu terjadi sekarang," tambahnya.

Pejabat PBB mengatakan kedua pihak bersedia untuk bertemu tetapi belum menyetujui tanggal dan tempat. Dia mengatakan pembicaraan kemungkinan besar akan dilakukan di Kuwait atau Yordania.

Juru bicara Houthi Mohammed Abdelsalam mengatakan pada hari Minggu 9 Desember bahwa delegasinya terbuka untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah jika kemajuan dibuat sebelum perundingan di Swedia berakhir pada hari Jumat 14 Desember.

Pada hari Kamis pekan lalu, pihak-pihak yang berseteru menyetujui pertukaran tahanan. Pejabat PBB dan seorang delegasi pemerintah Yaman mengatakan kepada The National bahwa berbagai upaya seputar pertukaran beberapa tahanan sedang difokuskan sebelum Jumat.

Pemerintah ingin mengamankan pembebasan pemimpin profil tinggi yang telah ditahan di penjara Houthi sejak 2015, termasuk mantan menteri pertahanan Jenderal Mahmood Al Soubaihi, dan Mayor Jenderal Naser Mansour Hadi --saudara Presiden Yaman Abdrabu Mansur Hadi-- serta pemimpin partai Al Islah, Mohammed Qahtan.

Perang Yaman telah menewaskan lebih dari 10.000 jiwa sejak 2015 ketika pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi dan sekutunya melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran.

Pertempuran memicu apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan hampir 14 juta warga Yaman berisiko mengalami kelaparan massal, kemiskinan, penyakit dan blokade suplai mendasar --membawa negara miskin itu bertekuk lutut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.