Sukses

Kali Kedua Donald Trump dan Vladimir Putin Akan Bersua, Bahas Apa di Paris?

Donald Trump dan Vladimir Putin berencana untuk kembali bertatap muka di Paris, Prancis, pada 11 November 2018.

Liputan6.com, Washington DC - Donald Trump menyampaikan kepada awak media di Gedung Putih, Selasa, 23 Oktober waktu setempat, bahwa ia "mungkin" akan bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Perjumpaan kedua mereka direncanakan berlangsung di Paris pada 11 November 2018.

Trump dan Putin sebelumnya sudah merencanakan untuk berada di ibu kota Prancis pada hari itu, guna menandai peringatan ke-100 gencatan senjata yang mengakhiri Perang Dunia I.

"Saya pikir, kami mungkin akan bertemu, tapi belum disiapkan. Mungkin akan demikian," kata presiden ke-45 Amerika Serikat itu kepada para wartawan di Kantor Oval Gedung Putih, seperti dilansir dari CNBC, Rabu (24/10/2018).

Pernyataan Donald Trump itu muncul beberapa jam setelah penasihat keamanan nasional, John Bolton, mengatakan--ketika Bolton ada di Moskow--bahwa Putin ingin melanjutkan diskusi langsung bersama Trump, dan menyarankan Paris sebagai tempat berlangsungnya pertemuan.

Kedua pemimpin tersebut baru-baru ini bertemu di Helsinki, Finlandia, pada 16 Juli. Perjumpaan mereka memicu pro dan kontra, sebab Trump tampaknya mendukung klaim Putin yang menyatakan bahwa Rusia tidak ikut campur dalam hasil Pemilu 2016.

Termasuk dengan cara meretas ke server Komite Nasional Demokrat dan membobol surat elektronik atau e-mail.

Sementara itu, Donald Trump mengumumkan pada akhir pekan lalu bahwa Amerika Serikat akan menarik diri dari Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty atau Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah, karena Rusia dicap telah melanggar pakta itu selama bertahun-tahun.

Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty adalah traktat antara Amerika Serikat dan Republik Sosialis Uni Soviet tentang eliminasi misil jangka pendak dan jangka menengah mereka, sebuah perjanjian yang dibuat pada 1987 antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Perjanjian itu melarang kedua negara untuk memiliki, membuat, atau menguji rudal jelajah darat yang diluncurkan dengan jangkauan antara 300 hingga 3.400 mil.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Balas Rusia, AS Akan Terus Menambah Senjata Nuklir

Presiden Donald Trump mengatakan bahwa Amerika Serikat akan meningkatkan jumlah senjata nuklirnya--sebuah pernyataan yang dinilai akan membangkitkan kembali perlombaan persenjataan nuklir (nuclear arms race) antara AS dan Rusia.

"Sampai semua negara sadar atas apa yang mereka lakukan, kami (AS) akan menambahnya (senjata nuklir)," kata Trump, seperti dikutip dari CNN, Selasa, 23 Oktober 2018.

Pernyataan itu diungkapkan Trump usai dirinya mengumumkan akan menarik AS keluar dari perjanjian pengendalian nuklir dengan Rusia.

Trump, pada 20 Oktober, mengatakan bahwa AS "akan menghentikan perjanjian itu dan kami akan keluar," ujarnya merujuk pada Traktat Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) yang diteken AS dan Uni Soviet (negara pendahulu Rusia) pada 1987.

Traktat INF melarang peluncuran rudal jarak pendek hingga menengah berbasis darat (ground-based missile), dengan kisaran antara 500 dan 5.500 km. Perjanjian itu menjadikan kawasan Eropa steril dari silo atau fasilitas peluncur misil-misil nuklir selama lebih dari tiga dekade, sejak kesepakatan itu ditandatangani oleh Presiden Ronald Reagan dan Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada 8 Desember 1987.

Donald Trump mengatakan bahwa Rusia telah "melanggar" Traktat INF dengan terus mengembangkan senjata nuklir. "Amerika Serikat tidak akan membiarkan Rusia lolos begitu saja (dari pelanggaran itu) sementara mereka terus mengembangkan senjata. Kami tidak akan membiarkannya," lanjut Trump pada 20 Oktober lalu.

Tentang pelanggaran Rusia yang dimaksud oleh Trump, dirinya merujuk pada laporan intelijen dan Kementerian Pertahanan AS yang menyebut bahwa Negeri Beruang Merah terus mengembangkan rudal nuklir jarak menengah.

Oleh karenanya, Trump merencanakan agar AS melakukan hal serupa, sambil berharap bahwa Rusia akan merespons dengan menghentikan proyek pengembangan rudal nuklirnya.

"Kami akan membuatnya (senjata nuklir) sampai mereka (Rusia) sadar. Dan ketika mereka sadar dan semua pihak mulai bertindak cerdas (dengan menghentikan pengembangan senjata nuklir), maka kami akan berhenti. Tak sekadar berhenti, kami akan menguranginya (senjata nuklir), yang mana saya sangat menyukainya," kata Trump pada Senin, 22 Oktober 2018.

Menurut data Federation of American Scientists, Rusia memiliki sekitar 7.000 senjata nuklir, sementara Amerika Serikat memiliki sekitar 6.800.

Rusia membantah tuduhan AS dan menolak bahwa mereka telah melanggar Traktat INF. Menambahkan, sumber Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa rencana AS untuk mundur dari INF beserta segala tuduhan yang mereka lontarkan "dimotivasi oleh impian dunia unipolar, di mana mereka (AS) ingin menjadi satu-satunya negara kekuatan super global," seperti dikutip dari kantor berita Rusia RIA Novosti yang terafiliasi pemerintah.

Dalam kesempatan terpisah, mantan Pemimpin Uni Soviet sekaligus penandatangan traktat INF, Mikhail Gorbachev, juga mengkritik rencana Trump, dengan mengatakan bahwa hal itu akan membahayakan upaya pembatasan penggunaan senjata nuklir.

Gorbachev juga mempertanyakan laporan intelijen AS tentang keberadaan senjata nuklir Rusia, yang kemudian digunakan oleh Trump sebagai alasan untuk menarik Amerika keluar dari kesepakatan yang ia tandatangani itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.