Sukses

Ini 3 Alasan Mengapa NASA Tak Lagi Mengirim Manusia ke Bulan

Liputan6.com, Washington DC - Hingga detik ini NASA tak lagi mengirim manusia ke bulan. Sejumlah astronot pun buka suara, mereka mengungkapkan ada tiga alasan mengapa hal tersebut terjadi.

Terakhir kali manusia mengunjungi Bulan adalah pada Desember 1972 dalam misi Apollo 17 Badan Antariksa Amerika Serikat atau NASA.

Setelah Apollo 17, selama beberapa dekade kemudian, NASA berencana untuk kembali mengirim orang ke Bulan. Tetapi sampai saat ini, rencana itu tak juga terlaksana.

Sejumlah astronot lalu mengungkap beberapa alasan terbesar mengapa manusia belum lagi dikirim kembali ke Bulan.

Beberapa menyebut soal alasan rintangan anggaran hingga politik negara, serta tentang aspek ilmiah atau teknis.

Berikut, 3 alasan mengapa NASA tak lagi mengirim manusia ke Bulan --menurut sudut pandang para astronot dan eks-astronot--, seperti dikutip dari Business Insider Singapore, Minggu (15/7/2018).

 

Simak pula video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Biaya Mahal namun Anggaran Kecil

Salah satu rintangan utama adalah persoalan anggaran dan biaya.

Undang-undang yang ditandatangani pada Maret 2017 oleh Presiden AS Donald Trump memberikan NASA anggaran tahunan sekitar US$ 19,5 miliar, dan mungkin akan meningkat menjadi US$ 19,9 miliar pada 2019.

Namun, anggaran itu harus digunakan untuk membiayai seluruh proyek yang saat ini tengah dikerjakan NASA, seperti: James Webb Space Telescope, proyek roket raksasa Space Launch System, dan misi eksplorasi ke Matahari, Jupiter, Mars, Sabuk Asteroid, Sabuk Kuiper, dan ujung tata surya.

Prinsip 'besar pasak daripada tiang' berlaku di sana, mengingat masing-masing proyek membutuhkan biaya besar, sementara anggaran NASA terbilang kecil --sebagai perbandingan, militer AS mendapat anggaran sekitar US$ 600 miliar per tahun.

Bahkan uniknya, anggaran NASA saat ini relatif kecil dibandingkan dengan anggaran lembaga itu pada masa lalu.

"NASA pernah mendapat 4 persen porsi anggaran federal pada 1965. Namun kini, selama 40 tahun terakhir, NASA hanya mendapat di bawah 1 persen porsi anggaran federal. Dan selama 15 tahun terakhir, menuju 0,4% dari anggaran federal," kata eks astronot misi Apollo 7 Walter Cunningham di Kongres AS pada 2015 lalu.

Trump berjanji akan meningkatkan anggaran NASA, namun, para astronot pun merasa bahwa itu belum akan mencukupi seluruh proyek lembaga tersebut saat ini --juga tak cukup untuk membiaya misi mengirim manusia ke Bulan.

Laporan 2005 oleh NASA memperkirakan bahwa misi mengirim kembali manusia ke Bulan akan menelan biaya sekitar US$ 104 miliar (atau US$ 133 miliar sesuai inflasi tahun ini) selama sekitar 13 tahun.

"Penjelajahan berawak adalah usaha luar angkasa paling mahal dan, akibatnya, yang paling sulit untuk mendapatkan dukungan politik," kata Cunningham

"Kecuali negara --khususnya Kongres-- memutuskan untuk memasukkan lebih banyak uang ke dalamnya,"

3 dari 4 halaman

2. Politik

Salah satu janji pemerintahan Presiden Donald Trump adalah untuk kembali mengirim astronot ke "Bulan dan sekitarnya" pada 2023.

Namun, tahun itu merupakan akhir dari periode kedua kepresidenan Trump --itupun jika ia kembali terpilih kembali pada Pilpres AS 2020.

Dan di situlah letak masalah besar lainnya: politik.

"Mengapa Anda percaya apa yang dikatakan presiden tentang prediksi sesuatu yang akan terjadi pada dua administrasi di masa depan? (Maka) Itu hanya omong kosong," kata Chris Hadfield, eks astronot untuk Badan Antariksa Kanada (CSA) dan juga NASA.

Dari perspektif astronot, kata Hadfield, mengirim manusia ke Bulan adalah tentang misi --merancang dan menguji pesawat ruang angkasa yang bisa membuat orang sampai ke angkasa luar. Bukan sebuah janji-janji politik dari presiden yang hendak mengincar jabatan untuk periode kedua.

"Saya ingin presiden berikutnya mendukung anggaran yang memungkinkan kami untuk menyelesaikan misi, apa pun misi itu," kata astronot Scott Kelly --yang menghabiskan waktu satu tahun di International Space Station-- pada Januari 2016, dalam sesi Reddit Ask Me Anything.

Kendati demikian, astronot legendaris Buzz Aldrin tak menafikan bahwa politik memegang peranan penting soal misi mengirim manusia ke Bulan.

"Saya percaya itu dimulai dari komitmen Kongres, pemerintahan yang bi-partisan, serta komitmen pemerintahan secara berkelanjutan," kata Aldrin dalam sebuah sesi di Kongres AS pada 2015.

Kekuatan pendorong sesungguhnya di balik komitmen pemerintah untuk kembali ke Bulan adalah kehendak rakyat Amerika, yang memilih politisi dan membantu membentuk prioritas kebijakan mereka. Namun minat publik dalam eksplorasi bulan selalu gamang.

Bahkan pada puncak program Apollo --setelah Neil Armstrong dan Buzz Aldrin melangkah ke permukaan Bulan-- hanya 53 persen orang Amerika menganggap program itu sepadan dengan biayanya.

4 dari 4 halaman

3. Masalah Teknis

Selain masalah politik dan anggaran, ada kendala lain yang menghambat misi pengiriman manusia ke Bulan pada dewasa ini, yakni: fakta bahwa Lunar merupakan lokasi yang mematikan bagi para astronot dan hal itu tidak boleh dianggap remeh.

Permukaannya dipenuhi dengan kawah dan batu yang mengancam pendaratan yang aman.

Menjelang pendaratan di Bulan pertama pada 1969, pemerintah AS menghabiskan dana senilai miliaran dolar pada kurs hari ini untuk mengembangkan, meluncurkan, dan mengirim satelit ke Bulan serta untuk memetakan permukaannya dan membantu perencana misi mencari lokasi pendaratan Apollo yang aman.

Namun kekhawatiran yang lebih besar adalah regolith, juga disebut debu Bulan.

Madhu Thangavelu, seorang insinyur aeronautika di University of Southern California, menulis pada 2014 bahwa Bulan memiliki "lapisan debu halus di beberapa wilayahnya dan memiliki sifat elektro-statis ... mampu merusak pesawat antariksa, kendaraan, dan peralatan lain dengan sangat cepat."

Peggy Whitson, seorang astronot yang tinggal di International Space Station selama total 665 hari, baru-baru ini mengatakan kepada Business Insider bahwa misi Apollo "memiliki banyak masalah dengan debu."

"Jika kita akan menghabiskan waktu lama dan membangun habitat permanen, kita harus mencari cara untuk mengatasi debu Bulan," kata Whitson.

Ada juga masalah dengan sinar matahari. Selama 14,75 hari sekali, permukaan bulan adalah pemandangan neraka mendidih yang terpapar langsung ke sinar matahari yang panas -- dan Bulan tidak memiliki atmosfer pelindung.

Sementara 14.75 hari berikutnya, Bulana mengalami kegelapan total, membuat permukaannya menjadi salah satu tempat terdingin di alam semesta.

Sebuah reaktor nuklir kecil yang dikembangkan oleh NASA, yang disebut Kilopower, dapat memasok listrik bagi astronot selama berminggu-minggu di Lunar - dan akan berguna pada misi di planet lain, termasuk Mars.

"Tidak ada tempat yang lebih tidak ramah lingkungan atau lebih keras untuk hidup daripada bulan,” tulis Thangavelu. "Dan lagi, karena sangat dekat dengan Bumi, tidak ada tempat yang lebih baik untuk belajar bagaimana hidup, jauh dari planet Bumi."

NASA telah mendesain kubah dan rover tahan debu dan matahari, meskipun tidak pasti apakah peralatan tersebut siap untuk diluncurkan, karena sebagian dari itu adalah bagian dari program Constellation yang sekarang justru dibatalkan oleh pemerintah AS --atas alasan politik dan anggaran.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.