Sukses

Jenderal AS Tuduh Rusia Kobarkan Ketegangan di Suriah

Panglima Komando Pusat Amerika Serikat, Jenderal Joseph Votel, menuduh Rusia menanam benih instabilitas di Suriah dan seluruh Timur Tengah.

Liputan6.com, Washington DC - Panglima Komando Pusat Amerika Serikat, Jenderal Joseph Votel, menuduh Rusia menanam benih instabilitas di Suriah dan seluruh Timur Tengah sebagai bagian dari upaya memperluas pengaruhnya.

Dalam prosesnya, kata sang Jenderal, Rusia terus mengabaikan Amerika Serikat dan masyarakat internasional.

"Secara diplomatik dan militer, Rusia bermain sebagai pembakar juga pemadam kebakaran sekaligus. Mereka juga mengobarkan ketegangan di antara semua pihak di Suriah," kata Jenderal Votel di hadapan Kongres AS pada Selasa, 27 Februari lalu, seperti dikutip dari VOA, Kamis (1/3/2018).

Lebih jauh Jenderal Votel menuduh Rusia menawarkan jasa menjadi perantara dalam usaha "merongrong dan memperlemah posisi tawar menawar setiap pihak".

Kecaman itu, yang datang dalam kata-kata lebih tajam dari sebelumnya, selaras dengan peringatan terdahulu oleh para pejabat intelijen Amerika Serikat dan Barat yang mengatakan Rusia memandang Suriah sebagai peluang untuk menanamkan posisi penting Moskow di pentas dunia.

"Sudah jelas kepentingan Moskow di Suriah adalah kepentingan mereka pribadi, bukan kepentingan masyarakat internasional yang lebih luas. Peranan Rusia saat ini luar biasa mengacau," lanjut Votel menuding Rusia.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Neraka Dunia Bernama Ghouta

Komentar itu datang di tengah situasi panas terkait konflik bersenjata di Ghouta Timur, Suriah, yang menimbulkan sekitar 500 korban jiwa.

Sebelumnya, sejumlah pihak telah menuduh Rusia menghambat proses sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk menghasilkan resolusi gencatan senjata di Suriah. Meski pada akhirnya resolusi gencatan senjata 30 hari di seluruh Suriah diloloskan oleh DK PBB -- tepatnya pada Sabtu 24 Februari -- namun, hal itu muncul beberapa hari lebih lambat dari jadwal yang sebelumnya ditetapkan.

Negara-negara Eropa Barat, seperti Prancis dan Jerman juga terus mendesak agar Rusia -- yang merupakan sekutu rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad -- menekan Damaskus untuk menghormati resolusi DK PBB serta membuka jalan bagi bantuan humaniter yang masuk demi warga terdampak konflik.

Pada akhirnya, awal pekan ini, Rusia menyikapinya dengan mengeluarkan mandat gencatan senjata 5 jam per hari demi memfasilitasi warga sipil untuk keluar dari wilayah konflik di Ghouta menuju koridor humaniter alias zona hijau-demiliterisasi.

Kendati demikian, laporan terakhir menyebut, meski gencatan senjata diberlakukan, baik pihak Suriah yang didukung Rusia dan kelompok pemberontak -- yang diperangi pasukan Al Assad -- masih melakukan kontak senjata, yang pada akhirnya, semakin merugikan warga sipil non-kombatan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.