Sukses

5 Fakta Soal Tindik Tubuh yang Tercatat dalam Sejarah

Praktik tindik di kalangan rakyat Mesir Kuno bisa mengundang maut karena tindik hanya diperuntukkan bagi kalangan keluarga Firaun.

Liputan6.com, Jakarta - Tindik tubuh telah dipraktikan di seluruh dunia sejak zaman purbakala untuk alasan agama, estetika, dan seksual.

Banyak orang sekarang mempertunjukkan bagian tubuhnya yang ditindik. Tapi, pada masa Victoria, keberadaan tindik justru disembunyikan.

Di bagian dunia lain, tindik malah dipaksakan. Atau, praktik tindik di kalangan rakyat Mesir Kuno bisa mengundang maut karena tindik hanya diperuntukkan bagi kalangan keluarga Firaun.

Diringkas dari listverse.com pada Sabtu (26/8/2017), berikut ini adalah sejumlah hal unik seputar praktik tindik pada tubuh manusia:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Tanda Milik dan Perhambaan

Perangkat tindik masa Israel Kuno. (Sumber csmonitor.com)

Menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam Alkitab, tindik merupakan simbol pengabdian, identifikasi, dan kepemilikan. Semua itu menandai perlindungan oleh majikan dan dewa-dewi tertentu sesuai dengan tindik yang dipasang.

Dengan demikian, siapapun yang berani menyakiti seseorang yang memiliki tindik – baik berupa anting ataupun cincin hidung – akan mendapat pembalasan berat dari para dewa.

Ternyata ada kebiasaan serupa di kalangan bangsa Israel. Dalam beberapa rujukan Alkitab disebutkan bahwa pria, wanita, dan anak-anak dipasangi tindik wajah yang menunjukkan kepemilikan dan status.

Yang menarik, cukup lazim bagi seorang majikan untuk memberi tindik pada telinga hamba-hambanya "untuk menjadi simbol kepemilikan dan perhambaan permanen."

3 dari 6 halaman

2. Takhayul dan Ritual di India

Ritual Thaipusam di India. (Sumber Wikimedia Commons)

Di akhir Maret atau awal April di Madhya Pradesh, India, dilangsungkan Chaitra Poornima.

Saat purnama dalam bulan Chaitra menurut kalender Hindu, warga desa berkumpul di distrik Betul untuk melakukan tradisi tahunan melakukan tindik tubuh.

Peristiwa itu dikenal dengan "Hanuman Jayanti" dan telah diwariskan turun-temurun guna menyembuhkan segala macam penyakit, terutama cacar air.

Cacar air disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV) dan sangat mudah menyebar jika tidak ada vaksinasi. Secara global, penyakit itu menyebabkan kematian 7000 orang setiap tahun.

Dalam upaya memerangi virus itu, empat orang pria menyanyikan kidung sambil berdiri di depan dan belakang seorang warga yang sedang sakit. Dalam saat bersamaan, sebuah jarum dengan seuntai benang ditindik ke dalam tubuh 'pasien.'

Sambil disaksikan para tetua desa, para pria yang nyaris telanjang menari-nari untuk menandai ritual agar tindik pada daging dapat menghadirkan kekuatan dari sang dewa sehingga mengusir infeksi dari tubuh si sakit.

Padahal, seandainya jarum dalam upacara itu tidak steril, maka akan lebih banyak lagi orang yang tertular penyakit.

Selain itu, tindik juga dipakai untuk menggantung tubuh seseorang dalam upacara.

Walaupun sudah diadopsi di Barat, praktik menggantung tubuh menggunakan tindik dapat ditelusuri sejak 5000 tahun lalu sebagai bagian dari ritual Hindu – yakni Thaipusam dan Chidi Mari – di India.

Suku Mandan yang asli Amerika juga melakukannya. Suku Sioux menjadikannya bagian dari ritual Tarian Matahari (sundance).

4 dari 6 halaman

3. Penumpahan Darah

Patung ritual suku Maya di Amerika Tengah, lengkap dengan tampilan tindik. (Sumber Vimeo)

Praktik ritual lain yang melibatkan tindik tubuh pernah hadir secara meluas di kalangan suku Maya purba di Amerika Tengah.

Upacara rumit dan kompleks di kalangan dinasti tersebut mencakup penetesan darah demi perdamaian dengan para dewa-dewa dan dilakukan hingga seseorang kesurupan.

Ritual penumpahan darah itu melibatkan tindik di berbagai bagian tubuh, misalnya lidah, bibir bawah, pipi, dan kulit kulup pada penis.

Ada bermacam-macam alat yang dipakai untuk merobek kulit, misalnya ekor pari, kulit kayu, serpihan tulang, dan serpihan batu api, lalu dilanjutkan dengan memasukkan manik-manik ke menembus luka-luka.

5 dari 6 halaman

4. Tindik pada Testes

Suatu ritual yang berasal Arabia yang kemudian menyebar ke Afrika Utara dan Timur Tengah melibatkan tindik pada kantong buah zakar. Ritual yang disebut hafada itu dimulai dengan tindik pada testes sebelah kiri, diikuti dengan penyisipan beberapa cincin.

Ternyata, praktik itu malah dibawa ke Eropa oleh tentara Legion Asing Prancis yang berdinas di Lebanon dan Suriah.

Lalu ada lagi "Guiche" yang dilakukan di perineum, yaitu bagian tubuh di antara lubang dubur dan testes.

Praktik tindik itu diduga dibawa dari Pasifik Selatan dan dilakukan oleh seorang "Mahu" (pria banci) pada anak-anak lelaki berusia antara 12 dan 14 tahun.

Ternyata, Mahu adalah anggota terhormat dalam masyarakat dan dipandang "memiliki kekuatan gaib melalui ketaatan pada agama kuno Tahiti."

Tindik kala itu dianggap sebagai ritus pubertas. Caranya, bagian perineum itu disayat dengan pisau, lalu disisipkan sejumput kulit babi yang mentah.

Setelah lukanya sembuh, dipasanglah gelang agar "secara nikmat menyentuh bagian belakang zakar ketika ia berjalan telanjang."

6 dari 6 halaman

5. Infibulasi

Ilustrasi infibulasi masa Romawi Kuno. (Sumber Thorvaldsens Museum, Denmark)

Dalam praktik tindik yang satu ini, bagian kulit kulup dilukai dengan jepitan, cincin, atau pin logam agar kulit menutup di atas lingkaran penis.

Laporan tertulis pertama tentang ini diberikan oleh penulis Romawi Kuno bernama Aulus Cornelius (25 SM – 50 M). Disebutkan bahwa praktik itu dipergunakan untuk menjaga suara para penyanyi muda masa itu.

Dalam banyak kasus, hiasan genital yang ramai dipasang sebagai bagian dari kostum standar anak-anak lelaki anggota paduan suara.

Yang menarik, infibulasi sempat hadir lagi pada masa Victoria sebagai senjata klinis dalam "perang melawan masturbasi."

Kampanye anti-seksual menjadi jawaban atas histeria massa terhadap masturbasi yang merebak di kalangan kedokteran Eropa dan Amerika pada awal Abad ke-18 hingga Abad ke-20.

Selama masa itu, banyak cendekiawan kedokteran memandang stimulasi diri sebagai penyebab hampir semua penyakit dan masalah seksual.

Dengan demikian, dokter-dokter saat itu "berpendapat dan telah secara ilmiah membuktikan bahwa masturbasi adalah penyakit berbahaya, melumpuhkan, dan mematikan."

Karena pandangan yang kurang tepat itu, pihak berwenang dalam dunia medis membujuk panti-panti perawatan mental dan panti-panti asuhan agar melakukan infibulasi tanpa kesepakatan dari anak-anak dan pasien.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.