Sukses

Tayangan TV Tidak Peka Soal Penyakit Mental, Psikolog: Media Perlu Memperbaikinya

Sebagian orang termasuk yang bekerja di industri hiburan masih menyepelekan isu penyakit mental. Maka dari itu, edukasi terkait isu tersebut perlu dibagikan dan hal ini bisa dilakukan melalui siaran media.

Liputan6.com, Jakarta - Literasi mengenai isu penyakit mental (mental illness) dan kesehatan mental masih menjadi pekerjaan rumah, tak terkecuali di Indonesia. Sebagian orang masih belum peka terhadap isu tersebut. Salah satunya terkait variety talent show ajang pemilihan model yang ditayangkan sebuah teve swasta beberapa waktu lalu. Para juri yang terlibat dalam acara tersebut dinilai oleh warganet kurang peka terhadap masalah penyakit mental yang pernah dialami salah seorang kontestan. 

Menanggapi hal tersebut psikolog Oktina Burlianti berpendapat, edukasi mengenai kesehatan mental perlu digiatkan dan dibagikan, salah satunya melalui siaran media. 

Psikolog lulusan Universitas Indonesia (UI) ini mengatakan, media terutama teve yang melakukan kesalahan terhadap tayangan yang mengandung ketidakpekaan terhadap penyakit mental perlu memperbaikinya. Teve tersebut bisa melakukan siaran lanjutan yang menayangkan tentang cara memperbaiki masalah.

“Jika sudah terlanjur tayang, tanggung jawab yang dapat dilakukan tentunya tidak hanya dengan permintaan maaf. Karena, minta maaf saja tidak cukup,” katan psikolog yang akrab disapa Ullie kepada kanal Disabilitas Liputan6.com, ditulis Senin (29/3/2021).

Lebih dari itu, pihak teve dapat melakukan tayangan lanjutan yang berisi pengulangan skema.

“Skemanya diulang, dibuat skema yang lebih tepat jadi tidak menjadi sesuatu yang traumatis karena ada ending di situ, semacam psikodrama, adegannya diulang lagi tapi dengan kata-kata yang tepat.”

Hal ini bisa dilakukan dengan memanggil kembali kontestan tersebut kemudian diajak diskusi tentang perasaannya saat kejadian di tayangan sebelumnya. Setelah itu, juri meminta maaf dan mengatakan bahwa ia ingin memperbaiki semuanya.

Psikodrama ini dilakukan dengan arahan dari psikolog. Sebelum acara dimulai, semua pihak yang terlibat dalam acara tersebut perlu diberi arahan terkait jalannya acara agar berakhir dengan baik.

Selain menghapuskan trauma yang “mungkin” dialami kontestan, cara ini juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah serupa.

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pelibatan Psikolog

Ullie menambahkan, pelibatan psikolog dalam acara teve tertentu memang dibutuhkan agar sebuah tayangan bukan hanya mengandung hiburan tapi juga edukasi.

“Kalau menurutku, acara-acara kayak gini perlu ada psikolog yang mendampingi,” ujarnya.

“Harusnya ada psikolog sebagai tanggung jawab dari penyelenggara, jadi jika ada yang terpicu maka tahu cara menstabilkannya,” tambahnya.

Dengan adanya psikolog dalam sebuah program, maka artis atau tokoh-tokoh yang terkait di dalamnya dapat diberi arahan terlebih dahulu untuk mengetahui apa saja yang tidak boleh dikatakan terkait penyakit mental dan masalah psikologi lainnya, kata Ullie.

“Kasih edukasi lah, jangan cuma acaranya rame doang, mereka contoh lho buat masyarakat."

Oktina menambahkan, meskipun para pekerja di media televisi tidak belajar langsung mengenai ilmu psikologi, setidaknya perlu mendapat edukasi mengenai etika menghadapi isu terkait kesehatan mental. 

3 dari 3 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.