Sukses

Dikaruniai Anak Tuli, Ini yang Dilakukan Pendiri Komunitas Setuli agar Buah Hati Mandiri

Mengajarkan kemandirian anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak hanya dimulai sejak usia Sekolah Dasar (SD). Namun, proses tersebut dimulai sejak kecil agar anak mengetahui cara memperoleh kebutuhan dasarnya.

Liputan6.com, Jakarta Mengajarkan kemandirian anak berkebutuhan khusus (ABK) termsuk tuli tidak hanya dimulai sejak usia Sekolah Dasar (SD). Namun, proses tersebut dimulai sejak kecil agar anak mengetahui cara memperoleh kebutuhan dasarnya.

Seperti disampaikan pendiri Komunitas Kesetaraan Bagi Anak Tuli (Setuli), Susanti Mayangsari, berbagai hal sederhana tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan perlu diajarkan pada ABK sejak bayi.

Susanti yang juga memiliki anak penyandang tuli dan kelainan jantung, Selia, mengaku sempat bingung dalam mencari cara untuk mendidik anaknya. Pasalnya, keduanya tidak saling mengerti.

“Kenyataanya, Selia tidak paham aku ngomong apa dan aku tidak paham Selia ngomong apa,” ujarnya dalam webinar Konekin, ditulis pada Kamis (10/12/2020).

Saat diagnosa tuli keluar, Susanti langsung memberikan Alat Bantu Dengar (ABD) pada Selia.

“Terus ketika dia sudah bisa duduk aku ikutkan dia terapi wicara dan dia kooperatif sekali, lama-kelamaan dia tahu jadwalnya sendiri.”

Seperti orangtua ABK lainnya, Susanti juga merasakan kekhawatiran tentang masa depan anaknya. Maka dari itu, ia terus belajar untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan mencari pihak-pihak yang dapat membantu mengarahkan.

“Aku coba cari jawaban itu, akhirnya aku bertemu dengan seorang tuli, terus dikenalkan dengan komunitas dia dan akhirnya aku bisa percaya diri bahwa aku bisa membuat anakku mandiri.”

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Yang Dilihat Susanti di Komunitas Tuli

Kepercayaan diri Susanti timbul setelah melihat komunitas tuli yang seketika mengubah cara pandangnya. Di sana ia melihat penyandang tuli ternyata bisa hidup mandiri dan dapat sekolah tinggi seperti orang lain.

“Ternyata tuli bisa kuliah di luar negeri loh, tuli itu bisa jadi sarjana, bisa jadi macam-macam, dan ternyata ada universitas di dunia untuk orang tuli, tuli itu bisa hebat.”

Dari komunitas tersebut ibu berhijab ini juga belajar bahwa kebanyakan orangtua tuli memiliki mimpi yang lebih rendah dari anaknya.

Menurutnya, banyak orangtua dengar yang berani bermimpi bahwa anaknya kelak akan jadi dokter, presiden, dan mimpi besar lainnya. Namun, orangtua dengan anak tuli biasanya hanya bisa berharap sederhana misal setidaknya anaknya bisa menjahit, kerja di bengkel, atau pekerjaan biasa lainnya.

“Kalau kita sebagai orangtua tidak bisa memiliki mimpi besar untuk anak kita maka anak kita tidak akan percaya diri punya mimpi besar buat dirinya sendiri,” pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.