Sukses

Sederet Kontroversial Gelaran Piala Dunia 2022 Qatar

Piala Dunia Qatar 2022 yang terhitung akan dimulai pada 20 November 2022 diharap dapat menjadi salah satu cara membuat Qatar menjadi pusat olahraga Timur Tengah.

Liputan6.com, Jakarta- Piala Dunia Qatar 2022 yang terhitung akan dimulai pada 20 November 2022 diharap dapat menjadi salah satu cara membuat Qatar menjadi pusat olahraga Timur Tengah. 

Aspire City yang spektakuler juga siap menyambut turnamen internasional tingkat dunia ini, ditambah 3-2-1 Qatar Olympic Sport Museum berjejer menampilkan sejarah ikonik olahraga global.

Meskipun para atlet asal Qatar tidak banyak dikenal di dunia, tetapi negara tersebut dapat membawa dunia olahraga dengan baik.

Terlebih, olahraga dan pariwisata diharapkan menjadi bagian penting dari masa depan ekonomi Qatar, mengingat, cadangan minyak dan gasnya yang mulai menipis. 

"Bagi Qatar, ini bukan hanya tentang turnamen sepak bola," kata Kepala Komite Penyelenggara Piala Dunia Qatar, Nasser Al Khater kepada Yahoo Sports dalam sebuah wawancara.

"Ini benar-benar tentang pembangunan bangsa. Saya pikir Qatar akan menjadi pusat olahraga. Saya pikir Qatar akan terus mengajukan penawaran untuk acara besar. Akankah kita melihat upaya lain pada tawaran Olimpiade? Kita harus menunggu dan melihat," tambahnya.

Tak mengherankan lagi, Qatar telah menghabiskan 100 miliar US Dollar untuk pembangunan infastruktur dan persiapan Piala Dunia. 

Qatar, tentu, sudah siap memamerkan betapa indahnya mereka kepada jutaan wisatawan yang akan memadati Doha dan kepasa miliaran penonton di seluruh dunia. 

Namun, di bawah permukaan, terdapat ketidaksetaraan ekstrem yang ditemukan. Skandal di jantungnya adalah bahwa orang-orang miskin yang membangunnya justru orang-orang yang tidak akan mendapat manfaat darinya.

Statusnya bagai tuan rumah Piala Dunia juga sangat kontroversial. Mengapa demikian? Mengutip The Conversation, simak penjelasannya di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Menjual Suara

Pada 2010, Qatar adalah pemenang dari pemungutan suara FIFA untuk menggelar Piala Dunia 2022. Sebuah keputusan yang dianggap ‘jahat’ oleh beberapa kritikus. 

Semua berawal dari pergantian abad yang lalu. Saat itu, Qatar memiliki uang yang tak terbatas, tetapi tidak memiliki pijakan dalam struktur kekuasaan dunia. Jadi, Qatar berusaha untuk mendapatkannya, sebagian melalui olahraga.

Qatar menggelontorkan uang ke dalam sepak bola Eropa, melalui PSG, sponsor, dan BeIN Sports. Mereka mengajukan tawaran untuk kejuaraan dunia di bidang olahraga dan senam. Tapi permata mahkota, tentu saja, yang paling banyak memberikan soft power, adalah Piala Dunia FIFA.

Rencana besar itu mitosnya dibuat dalam sebuah makan malam pribadi pada 2007, bersama presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter. 

Qatar yang saat itu menaungi 1,5 juta orang, secara resmi secara resmi mengajukan tawarannya pada 2009, dan mengklaim hal tersebut ‘sejalan dengan strategi pembangunan nasional Qatar,’ seperti yang tertuang dalam dokumen evaluasi FIFA. Laporan evaluasi itu berbicara tentang "risiko" dan "tantangan logistik."

Namun, semua orang yang terlibat, tahu bahwa ini bukan permainan prestasi operasional, melainkan salah satu politik.

Kemudian, pada 2010, hal tersebut menjadi subjek investigasi para jurnalis dan jaksa penuntut AS. hal ini juga membuat FBI turut menyelidiki dan berujung pada penangkapan tiga anggota komite eksekutif yang beranggotakan 24 orang.

Mereka yang memberikan Piala Dunia 2022 kepada Qatar. Mereka juga ‘ditawari dan menerima pembayaran suap sebagai imbalan atas suara mereka,’ menurut dakwaan Departemen Kehakiman AS.

Secara total, 18 dari 24 orang telah terlibat atau diselidiki untuk beberapa bentuk aktivitas terlarang atas penjualan suara mereka. 

3 dari 6 halaman

Politisasi Demi Perkuat Soft Power

Kemudian, turnamen ini dibuntuti oleh berbagai asumsi yang sebagian dipicu oleh bias Barat, sebagian lagi oleh bukti nyata, dan sebagian lagi oleh ketidaklogisan dari Piala Dunia di negara yang sangat kecil, panas, dan memiliki budaya yang sulit untuk ‘mengglobal’.

Satu ketidaklogisannya adalah untuk memahami bagaimana Qatar, dengan suhu musim panas siang hari rata-rata lebih dari 40℃, merupakan lingkungan yang ideal untuk turnamen ini.

Beberapa tahun kemudian, dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, FIFA mengizinkan Qatar untuk menggeser acara ke musim dingin, meskipun itu akan mengganggu jadwal sepak bola bergengsi di belahan bumi utara.

Berbagai kekurangan Qatar dan beberapa skandal, membuat tokoh-tokoh terkemuka di dalam dan di luar olahraga menyerukan FIFA untuk mencopot Qatar dari Piala Dunia 2022.

Qatar, di tengah kegemparan, dilaporkan menugaskan operasi mata-mata rahasia, yang dijuluki "Project Merciless," untuk "melindungi kepentingan Q22."

Piala Dunia, pada saat itu, telah menjadi "instrumen soft power" yang penting, seperti yang ditulis Simon Chadwick, seorang profesor olahraga dan ekonomi geopolitik di SKEMA Business School di Prancis, dalam sebuah laporan baru-baru ini. 

Olahraga adalah "sarana untuk meningkatkan daya tarik negara dan meyakinkan khalayak sasaran utama bahwa negara tersebut memiliki nilai dan aspirasi yang sama dengan mereka." Itu akan terjadi - itu harus terjadi - dengan cara apa pun dan dengan segala cara, di Qatar.

4 dari 6 halaman

Eksploitasi dan LGBQT

Di samping beberapa skandal, Qatar kemudian mendapat tekanan baru, karena dua alasan utama.

Pertama, para kritikus menegaskan kembali kekecewaan mereka bahwa negara tuan rumah menentang budaya sesama jenis. Pada 2010, FIFA sangat menyadari posisi Qatar bahwa homoseksualitas adalah penghinaan terhadap Islam, tetapi juga menerima bahwa Qatar tidak akan mundur dari norma budayanya.

Sebagai tanggapan, presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter, dengan jenaka menyindir bahwa para penggemar sepak bola LGBTQI+ mungkin "menahan diri" untuk melakukan hubungan asmara saat berada di Qatar.

Kedua, Qatar membiarkan para pekerja asing yang rentan untuk dieksploitasi, dengan kondisi kerja dan kehidupan yang sejalan dengan perbudakan modern.

Meskipun sulit untuk mendapatkan angka yang tepat, penyelidikan The Guardian pada Februari 2021 memperkirakan ada sekitar 6.500 kematian di tempat kerja dalam dekade setelah Qatar dianugerahi Piala Dunia.

Meskipun tidak semua bekerja secara khusus pada fasilitas turnamen, para ahli mengatakan sebagian besar dipekerjakan pada pembangunan infrastruktur yang mendukung acara tersebut.

FIFA sangat menyadari bahwa pembangunan stadion akan bergantung pada impor tenaga kerja asing di bawah "sistem kafala" yang terkenal kejam di Timur Tengah, yang memberdayakan majikan kaya untuk menindas pekerja miskin.

5 dari 6 halaman

HAM dan Eksploitasi Migran

Sikap diam yang dipimpin Barat terhadap Qatar yang ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia tidak diragukan lagi mendorong bangkitnya apa yang digambarkan sebagai "kepekaan FIFA terhadap hak asasi manusia". Ada dua perkembangan yang menonjol.

Pertama, menghadapi tekanan bersama tentang hak asasi manusia, statuta FIFA diubah pada 2013 untuk menyatakan bahwa diskriminasi atas dasar "orientasi seksual" "sangat dilarang dan dapat dihukum dengan skorsing atau pengusiran" dari sepak bola.

Namun, tuan rumah Piala Dunia Rusia (2018) dan Qatar (2022) sudah memegang kontrak untuk menggelar acara tersebut sesuai dengan hukum dan kebiasaan mereka sendiri, yang menentang homoseksualitas. FIFA, memilih untuk tidak membahas masalah kebebasan seksual dengan salah satu tuan rumah yang dijadwalkan. 

Memang, untuk Piala Dunia 2026, hak asasi manusia sekarang menjadi elemen inti dari proses pemilihan kota tuan rumah, dengan para kandidat diharuskan "mengembangkan rencana hak asasi manusia yang terperinci".

Kedua, menghadapi tekanan bersama dari badan-badan hak-hak pekerja, FIFA berkomitmen untuk menegakkan konvensi Organisasi Buruh Internasional. 

Oleh karena itu, Kebijakan Hak Asasi Manusia 2017 perdana FIFA sesuai dengan Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Namun, sekali lagi, ini adalah sikap baru. Baru setelah perjanjian penawaran untuk Rusia dan Qatar ditandatangani.

FIFA bisa, jika memilih, mengancam untuk menarik kedua kontrak tuan rumah. Tetapi tidak ada pilihan untuk konsekuensi dan potensi dampak hukum. Sebaliknya, dalam kasus Qatar, FIFA menenangkan diri dengan mengadvokasi reformasi kondisi kerja para pekerja asing.

Namun, menurut laporan Equidem, sebuah badan amal hak asasi manusia dan hak-hak buruh, eksploitasi pekerja migran terus berlanjut, yang berarti bahwa reformasi yang dijanjikan belum dilaksanakan secara memadai.

Terlebih lagi, Qatar telah menolak keras klaim badan-badan hak asasi manusia - bersama dengan FIFA - bahwa Qatar harus memberikan kompensasi kepada keluarga pekerja asing yang terbunuh dalam proyek-proyek infrastruktur Piala Dunia.

6 dari 6 halaman

Penyesuaian Norma

Qatar, meskipun menggelar acara global, mereka melakukannya melalui prisma lokal. Ini adalah negara Muslim pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia, dan karena itu menghadirkan pandangan dunianya sendiri ke ajang FIFA.

Ada dua isu yang mungkin akan menguji tuan rumah dan penggemar sepak bola.

Pertama, Piala Dunia telah lama diasosiasikan dengan konsumsi alkohol dalam jumlah yang berlebihan. Meskipun alkohol tersedia di Qatar, namun minum alkohol di depan umum merupakan pelanggaran hukum.

Kebijakan ini telah dimodifikasi untuk Piala Dunia yaitu alkohol akan dijual di kompleks stadion, tetapi tidak selama pertandingan berlangsung. Penggemar harus memuaskan dahaga mereka dalam jangka waktu tiga jam sebelum kick-off, dan satu jam setelah kick-off.

Sementara itu, Fan Zone Qatar yang berkapasitas 40.000 orang mengizinkan penjualan alkohol dari pukul 18:30 hingga 01:00 dini hari, jadi menonton pertandingan malam di layar lebar sambil menenggak bir bisa dilakukan. Tetapi mereka yang minum terlalu banyak berisiko ditempatkan sementara di "sobering tents".

Kedua, Qatar telah mencoba meyakinkan penggemar sepak bola dengan orientasi seksual apa pun bahwa mereka akan aman dan diterima, meskipun dengan peringatan bahwa menunjukkan kemesraan di depan umum - dalam bentuk apa pun - umumnya "tidak disukai" secara lokal.

Seperti halnya alkohol, sekarang tampaknya Qatar untuk sementara akan mengakomodasi standar yang berbeda.

Menurut sebuah laporan oleh situs berita Belanda, yang mengatakan telah melihat dokumen yang dibagikan antara penyelenggara turnamen dan polisi Qatar, orang-orang dari komunitas LGBTQI + yang "menunjukkan kemesraan di depan umum tidak akan ditegur, ditahan, atau dituntut. Mereka boleh membawa bendera pelangi. Pasangan sesama jenis dapat berbagi kamar hotel".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.