Sukses

Simak Faktor Penyebab Hoaks Covid-19 Tersebar Luas

Ada empat faktor yang mempengaruhi penyebaran informasi hoaks Covid-19

Liputan6.com, Jakarta Informasi baik yang akurat maupun hoaks, termasuk teori konspirasi terkait Covid-19, menyebar dengan cepat dalam skala besar di media sosial.

Berkat teknologi internet, baru kali ini informasi palsu terkait penyakit menyebar dari level lokal ke global dan dengan kecepatan yang luar biasa.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut fenomena hoaks kesehatan ini sebagai infodemi, yang harus dilawan. Misinformasi penyakit yang menular ini telah menjadi masalah global karena bisa mempengaruhi tindakan masyarakat untuk melawan Covid-19.

Assistant Professor of Science and Technology Studies in Liberal Arts Program, Northwestern University Anto Mohsin mengatakan di tengah pandemi Covid-19 yang dahsyat ini kita perlu lebih banyak mendapat informasi yang benar dan kredibel dari para ahli kesehatan dan ilmuwan serta otoritas kesehatan, untuk mencegah penularan lebih luas. 

"Walau tidak mudah membandingkannya, tidak semua negara mengambil kebijakan yang efektif dan tepat untuk menekan laju penularan virus," kata Anton, dikutip dari theconversation.com.

Dalam konteks saat ini, setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi penyebaran informasi hoaks Covid-19 tersebut, yaitu  insting dasar manusia ingin mengetahui, teknologi komunikasi modern, bias konfirmasi dan ruang gema.

Insting dasar manusia: ingin tahu

Seorang ahli filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara J. Sudarminta menyatakan “kegiatan mengetahui merupakan bagian hakiki dari cara berada manusia”.

Keinginan manusia untuk mengetahui sesuatu hal yang menarik perhatian mereka menjadi salah satu faktor penyebaran informasi bohong.

Perasaan ingin tahu ini biasanya dibarengi oleh perasaan takut (karena wabah ini berada di luar kontrol mereka). Menurut riset psikologi dari University of Kent, jika perasaan rasa takut ini dibarengi dengan keinginan menyalahkan orang lain dan menjaga identitas positif seseorang atau kelompok, hal ini bisa memicu kemunculan dan penyebaran teori-teori konspirasi.

Dalam situasi pandemi, dampak penyebaran teori konspirasi-misalnya jaringan komunikasi 5G sebagai penyebab Covid-19 bisa menyulitkan usaha perlawanan virus. Ada juga orang-orang yang percaya teori-teori konspirasi yang melakukan destruksi.

Teknologi komunikasi modern

Jaringan komunikasi seluler, telepon genggam, internet, dan bermacam aplikasi adalah kendaraan sekaligus jembatan yang memudahkan penyebaran informasi, baik yang akurat maupun hoaks, dari satu orang ke orang dan kelompok orang.

Pada saat yang sama ada efek samping dari teknologi komunikasi modern yang membuat siapa pun bisa memproduksi dan menyebarkan konten. Dalam konteks tertentu, orang awam juga kadang-kadang merasa menjadi ahli. Mereka dapat dengan mudah membuat dan mengemas informasi dan menyebarkannya lewat sosial media.

Berbeda dengan media massa arus utama yang memiliki kode etik, wartawan, hingga editor yang memverifikasi informasi, media sosial tidak memiliki “penjaga gawang” yang mengatur pembuatan dan penyebaran informasi. Terlebih karena grup-grup di Facebook dan WhatsApp masih sulit dikontrol.

Baru-baru ini viral video dokumentar Plandemic di YouTube dan Facebook yang sudah dilihat jutaan kali. Video ini menggambarkan coronavirus sebagai konspirasi dari orang-orang untuk mengambil untung dari vaksin. Banyak media dan sejumlah peneliti telah membantah isinya.

Karena infodemi begitu berbahaya, WHO meluncurkan situs komunikasi risiko yang memuat informasi akurat dan nasihat yang mudah dimengerti publik (EPI-WIN).

Lewat situs resminya dan beberapa akun media sosial di Weibo, Twitter, Facebook, Instagram, LinkedIn, Pinterest, organisasi ini juga telah menyanggah beberapa misinformasi yang beredar di internet.

Contohnya, di media sosial WHO telah meluruskan pesan menyesatkan mengenai penggunaan cahaya ultraviolet, sinar matahari dan konsumsi disinfektan untuk melindungi dari bahaya Covid-19.

Bias konfirmasi dan ruang gema

Kemudahan mengakses informasi lewat teknologi ini menjadikan banyak orang condong membaca dan menyebarkan informasi yang diterima tanpa mengecek akurasi informasi dan berita yang disebarkan. Informasi yang membludak bisa membuat orang kewalahan mengolah informasi tersebut.

Yang terjadi biasanya adalah bias konfirmasi, sebuah fenomena pembaca condong memilah informasi sesuai dengan keyakinannya. Jika ada yang percaya bahwa strategi tertentu bisa menangkal Covid-19 atau ramuan herbal tertentu bisa menyembuhkan penyakit ini, maka orang itu akan lebih percaya pada informasi yang menguatkan keyakinan tersebut.

Contohnya adalah kabar pasien Covid-19 yang sembuh karena minum vitamin C dan telor dan berjemur 15 menit. Contoh lainnya, penuturan Bambang Priyambodo, praktisi farmasi UGM, yang menuntun penyembuhan Covid-19 putrinya dari jauh. Sudah diketahui bahwa kedua berita ini adalah kabar bohong.

Bias konfirmasi ini bisa tumbuh subur di media sosial karena informasi bohong, hoaks, dan misinformasi banyak bersirkulasi di platform ini.

Di Indonesia, banyak sekali pengguna aplikasi WhatsApp yang menjadi wahana penyebarluasan berbagai pesan dan informasi lewat banyak grup WhatsApp. Untuk hal-hal yang baik seperti penggalangan dana media sosial berperan penting dan bagus.

Namun, grup-grup ini juga bisa menjadi ruang gema (echo chamber). Di dalam ruang gema ini, satu opini yang kurang kredibel atau fakta yang kurang akurat bisa dianggap benar karena didukung oleh informasi palsu secara berulang-ulang, sehingga menyulitkan mendapatkan atau menerima perspektif lain.

Masalah-masalah di atas dapat diperparah oleh kurangnya pengetahuan tentang sains penyakit menular sehingga informasi yang akurat dikesampingkan. Satu contoh adalah konsep “herd immunity” atau kekebalan kawanan yang sempat digaungkan sebagai strategi mengatasi wabah Covid-19.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Berikut

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia. 

Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu. 

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.