Sukses

Vuvuzela yang Bikin Sebel tapi Populer di Piala Dunia 2010

Selain bola bernama Jabulani, terompet khas Afrika Selatan yakni Vuvuzela membuat sebal para pemain karena suaranya yang berisik, sehingga mereka tidak bisa mendengar ucapan temannya di lapangan

Liputan6.com, Jakarta Ada dua “musuh” para pemain di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan: terompet Vuvuzela dan bola Jabulani yang dikeluarkan oleh Adidas.

Jabulani merupakan bola Adidas ke-11 di Piala Dunia, yang memiliki 11 warna sebagai wakil dari 11 pemain di tim sepak bola, juga 11 suku di Afrika Selatan. Jabulani adalah “untuk merayakan” dalam bahasa Zulu, salah satu dari 11 tersebut.

Kiper menjadi pemain yang paling banyak mengeluh. Sebab, bola itu tidak bisa ditangkap dengan sempurna. "Ini seperti bola pantai. Sungguh menyedihkan bahwa kompetisi sepenting Piala Dunia memiliki elemen vital seperti bola dengan karakteristik yang sangat buruk," ucap Iker Casillas.

Bahkan, penjaga gawang sekelas Gianluigi Buffon, yang biasanya sangat sopan ketika berbicara, ikut-ikutan mencemooh Jabulani. "Model baru ini sama sekali tidak memadai dan saya percaya itu memalukan untuk memainkan kompetisi yang sangat penting dengan banyak juara ambil bagian dengan bola seperti itu," kata Buffon.

Bagaimana dengan Vuvuzela? Jambulani masih kalah dalam hal kesal atau ketidaksukaan. Jika Jabulani bikin geram para pemain, terutama kiper, Vuvuzela membuat kesal para pemain, ofisial dan penonton yang non-warga Afrika Selatan.

Suara vuvuzela lebih nyaring daripada desingan sekelompok lebah, dan tak henti-hentinya ditiup oleh para fans sepak bola sepanjang pertandingan. Kritikan-kritikan yang ditujukan kepada vuvuzela hampir senyaring bunyinya.

Kehadiran Vuvuzela di stadion tak lepas dari keinginan penggemar sepak bola di Afrika Selatan untuk memeriahkan Piala Dunia yang untuk kali pertama digelar di sebuah negara Afrika.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Lengkingan

Namun, permasalahannya adalah suara Vuvuzela sangat berisik.

Lengkingan Vuvuzela selama Piala Dunia 2010 mencapai 100,5 desibel dan yang tertinggi bahkan menyentuh 144,2 desibel.

Akademisi Universitas Pretoria, Dirk Koekemoer, menuturkan bahwa terompet khas Afrika Selatan itu memang tidak baik untuk telinga.

“Saya memiliki Vuvuzela sendiri. Ingatan saya dengan orang yang meniupnya di dekat telinga Anda membuat saya berasumsi bahwa Vuvuzela tidak baik untuk telinga,” ucap Dirk Koekemoer, dilansir dari The Independent.

Ia sendiri terkejut ketika mendapatkan fakta bahwa Vuvuzela menghasilkan suara empat kali lebih banyak dari yang diduganya.

“Buktinya suara yang dihasilkan sangat keras, bahkan dengan pelindung telinga sekitar 25 desibel, suara tersebut masih dapat merusak telinga dalam laga sepak bola,” katanya.

Tak mengherankan jika pemain-pemain sepak bola di Piala Dunia 2010 banyak memberikan kritik soal kehadiran Vuvuzela.

Xabi Alonoso, yang menjadi bagian kejayaan timnas Spanyol di Piala Dunia 2010, mengatakan bahwa Vuvuzela membuatnya sangat tidak nyaman.

3 dari 4 halaman

Protes

“Vuvuzela ini sangat menjengkelkan. Mereka tidak berkontribusi pada atmosfer pertandingan di stadion. Penggunaannya harus dilarang,” ucap Xabi Alonso.

Adapun Spanyol berjaya pada Piala Dunia 2010. Skuad berjuluk La Roja itu menjadi juara seusai mengalahkan Belanda dalam partai final.

Timnas Spanyol membekuk Belanda berkat satu gol yang dibukukan oleh Andres Iniesta pada menit ke-116.

Sementara itu, Patrice Evra menjelaskan bahwa raungan Vuvuzela membuat timnas Perancis kesulitan tidur.

“Kami tidak bisa tidur di malam hari karena Vuvuzela. Orang-orang mulai memainkannya dari pukul 6 pagi,” kata Evra.

“Kami bahkan tidak mendengar suara satu sama lain di lapangan karena kehadiran vuvuzela,” ucapnya.

Tak hanya pemain, Asosiasi Sepakbola Jepang (JFA) mengajukan protes ke Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter. Melalui Motaki Inukai, presidennya JFA meminta agar FA Afrika Selatan melarang penggunaan Vuvuzela.

4 dari 4 halaman

Narasi

Tak hanya JFA, beberapa ahli di bidang kesehatan pun ikut mengomentari penggunaan vuvuzela di Piala Dunia 2010. Menurut Dr. Ruth Mc Nerney, suporter yang meniupkan vuvuzela perlu punya etika untuk tidak terlalu dekat mengingat penularan penyakit sangat bisa terjadi.

Narasi penolakan terhadap Vuvuzela tentu saja ditentang oleh suporter Afrika Selatan. Mereka dengan tegas menolak adanya pelarangan terhadap vuvuzela yang menjadi ciri khas Afrika Selatan.

Salah satu suporter Afrika Selatan, Freddie Maake, bahkan berbicara lantang terhadap narasi pelarangan tersebut. “Saya akan menjadi orang pertama yang ditangkap jika vuvuzela dilarang. Jika tidak diizinkan masuk stadion, itu berarti kami semua tidak akan masuk ke dalam” ujar Freddie dikutip dari Goal.

Freddie juga menyindir beberapa pihak yang menolak adanya vuvuzela di Piala Dunia 2010, salah satunya JFA. Freddie mengatakan, vuvuzela adalah simbol bagi masyarakat Afrika Selatan, layaknya karate di Jepang.

Banjir kritik mengenai pelarangan Vuvuzela akhirnya direalisasikan oleh FIFA. Namun, bukan saat Piala Dunia 2010, FIFA melakukannya menjelang perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil.

Vuvuzela jelas sangat mengganggu dengan suara berisiknya. Tindakan pelarangan diambil sebagai upaya untuk memberikan rasa nyaman bagi suporter lain maupun pemain yang sedang fokus dalam laga.

Vuvuzela yang masuk dalam benda terlarang FIFA juga berpotensi menjadi senjata yang bisa melukai. Hingga saat ini Vuvuzela dilarang di sepakbola Eropa dan beberapa cabang olahraga lainnya.

Meski begitu, karena Piala Dunia, popularitas Vuvuzela meningkat. Sejak hari pertama menjejakkan kaki di Afrika Selatan, Vuvuzela terdapat di mana-mana, bisa dibeli di hampir semua toko-toko; dari mall besar di pusat kota, sampai dijajakan oleh pedagang kaki lima di perempatan jalan.

Harga vuvuzela sendiri bervariasi mulai dari 50 rand sampai yang termahal 150 rand (Rp 60-180 ribu). Semakin banyak hiasan yang terdapat di vuvuzela, harganya semakin tinggi. Demam vuvuzela pun sudah terasa di kalangan penonton asing di Afsel. Orang-orang berkulit putih, seperti para pendukung Belanda di Stadion Soccer City, Johannesburg, juga banyak yang menenteng benda plastik panjang itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini