Sukses

Pentingnya Perjanjian Pranikah Atur Harta dan Utang dalam Pernikahan

Dalam perjanjian pranikah mulai dari pengelolaan harta bersama dan harta pribadi, pemisahan dan pencampuran aset, tanggung jawab atas utang, hingga pengelolaan bisnis dan investasi.

Diperbarui 08 Mei 2025, 21:00 WIB Diterbitkan 08 Mei 2025, 21:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan untuk menikah seringkali datang bersamaan dengan harapan dan impian akan masa depan bersama. Namun bagi Louisiana, keputusan itu juga disertai langkah penuh kesadaran yakni menyusun perjanjian pranikah bersama calon suaminya saat itu.

Namun, yang membuat kisah ini lebih menarik adalah latar belakang perkenalan mereka bukan dari proses hubungan yang panjang, melainkan melalui jalan taaruf.

Dalam proses taaruf yang cenderung singkat dan fokus, pembicaraan tentang perjanjian pranikah menjadi bagian penting. Louisiana dan calon suaminya saat itu secara terbuka mendiskusikan poin-poin yang ingin mereka sepakati

"Soalnya kan aku taaruf sm suami, menikah cuman tukeran cv-perjanjian ora nikah aja, jadi sebelum menikah ada beberapa poin-poin yang harus suami setujui waktu itu dia berkenan, maka jadilah perjanjian pra nikah itu," kata Lousiana kepada Liputan6.com, Kamis (8/5/2025).

Dalam perjanjian itu, yang diatur dalam perjanjian pranikah mulai dari pengelolaan harta bersama dan harta pribadi, pemisahan dan pencampuran aset, tanggung jawab atas utang, hingga pengelolaan bisnis dan investasi.

Di sisi lain, di tengah meningkatnya kesadaran generasi muda terhadap pentingnya kejelasan peran dan perlindungan hukum dalam pernikahan, Alifia, seorang calon pengantin muda menunjukkan langkah bijak dengan mulai terbuka terhadap perjanjian pranikah.

Baginya, perjanjian ini bukanlah bentuk ketidakpercayaan terhadap pasangan, melainkan upaya untuk mengantisipasi berbagai risiko yang bisa muncul dalam kehidupan rumah tangga.

"Saya dan pasangan sangat terbuka dan justru mendorong dibuatnya perjanjian pra nikah. Ini bukan soal ketidakpercayaan sihhh, tapi bentuk perlindungan hukum dan kejelasan peran dalam pernikahan, terutama bagi perempuan,' kata Alifia kepada Liputan6.com, Kamis pekan ini.

2 dari 3 halaman

Perjanjian Pra-nikah Bentuk Tanggung Jawab

Perjanjian pra-nikah dinilainya sebagai bentuk tanggung jawab bersama, bukan ancaman. Kesepakatan ini dianggap penting terutama dalam konteks perlindungan hak, khususnya bagi perempuan, serta dalam menyikapi fenomena meningkatnya kasus perselingkuhan dan konflik rumah tangga.

"Sebagai seseorang yang aware terhadap isu ini apalagi liat maraknya kasus perselingkuhan, saya melihat pentingnya mengantisipasi risiko tersebut, termasuk risiko dalam kehidupan rumah tangga. Jadi, ya sejauh ini kita udah sepakat perjanjian pra nikah ini bentuk tanggung jawab, bukan ancaman," ujarnya.

Adapun terkait harta yang diperoleh sebelum menikah, menurut dia sebaiknya tetap menjadi milik masing-masing pihak. Hal ini dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap jerih payah pribadi dan nilai historis yang mungkin melekat pada aset tersebut. Untuk harta yang diperoleh bersama setelah menikah, pengelolaannya dapat dibicarakan lebih lanjut secara adil dan terbuka.

"Sejauh ini saya cenderung berpandangan kalau harta sebelum menikah ya sebaiknya tetap jadi milik masing-masing ya, karena itu hasil jerih payah pribadi dan mungkin punya nilai historisnya sendiri. Kalau untuk penggabungan aset mungkin bisa didiskusikan nanti, terutama harta bersama yang didapat setelah menikah," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Batasan yang Sehat dalam Kelola Utang dalam Rumah Tangga

Alifia juga menekankan pentingnya batasan yang sehat dalam hubungan, termasuk dalam hal utang pribadi. Ia menilai bahwa utang yang timbul sebelum menikah atau tanpa persetujuan pasangan sebaiknya tidak menjadi beban bersama, guna menghindari konflik finansial di masa depan.

"Apalagi utang pribadi, terutama yang muncul sebelum menikah atau yang tidak melibatkan persetujuan pasangan, sebaiknya tidak jadi tanggungan bersama. Ini kayaknya penting untuk cegah konflik keuangan dan bikin batas yang sehat dalam hubungan mungkin," ujarnya.

Adapun pembagian harta bersama setelah menikah juga menjadi perhatian. Mereka sepakat bahwa harta tersebut sebaiknya dibagi secara adil sesuai kontribusi masing-masing. Selain itu, jika terjadi perceraian, penyebab dan kondisi setelahnya, seperti keberadaan anak, akan menjadi pertimbangan dalam pembagian harta. Misalnya, jika perceraian terjadi karena perselingkuhan, maka pihak yang menjadi korban berhak atas bagian yang lebih besar.

"Kalau untuk harta yang diperoleh bersama selama masa pernikahan sebaiknya dibagi rata ya, sesuai kontribusi masing-masing dan mempertimbangkan kesalahan siapa bisa sampai bercerai, misal karena diselingkuhin ya porsinya akan lebih besar untuk yang menjadi korban. selain itu juga akan mempertimbangkan kebutuhan setelah cerai, terutama jika ada anak," pungkas Alifia.

Produksi Liputan6.com