Sukses

Konsumsi Kelas Menengah Turun, Ekonom: Alarm bagi Pemerintah

Indef menyatakan ketika konsumsi sudah bermasalah menjadi alarm bagi pembuat kebijakan

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, menyebut terjadinya perlambatan konsumsi, khususnya kelas menengah menjadi alarm bagi Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Eko menuturkan, sebelum COVID-19 konsumsi rumah tangga masih tumbuh rata-rata di kisaran 5 persen alias tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi setiap kuartal.

Namun, 2024 konsumsi rumah tangga justru di bawah 5 persen yakni 4,9 persen di kuartal I dan II-2024. Dia menuturkan, penurunan tersebut seharusnya menjadi alarm bagi Pemerintah agar membuat kebijakan yang tidak menekan rakyat.

"Ini seharusnya ini menjadi alarm bagi membuat kebijakan terutama pemerintah begitu. Ketika konsumsi sudah bermasalah," kata Eko dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas", Senin (9/9/2024).

Jika dilihat data pada kuartal I dan II tahun 2024, meskipun ada momentum Pemilu Presiden dan Lebaran tidak mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi tumbuh signifikan.

"Kalau kita lihat data kemarin ya di Q1 dan Q2 itu melampaui masa di mana ada siklus ya musiman yaitu, puasa dan Lebaran. Puasa dan Lebaran itu nggak nendang ya, enggak sampai kemudian membuat pertumbuhan konsumsi bisa 5%, padahal katanya yang mudik jauh lebih banyak ya. Pecah rekor mudik gitu ya, terus kemudian ada pemilu begitu," ujarnya.

Eko menilai hal inilah yang harus menjadi konsen pemerintah ke depannya. Bahkan berdasarkan prediksinya konsumsi rumah tangga tidak akan mengalami perbaikan hingga akhir 2024.

"Sepertinya kalau saya lihat sampai akhir tahun juga enggak ada tanda-tanda pembaikan ya. Kemungkinan, mungkin di triwulan 4 nanti ya. Tapi itu harus kita lihat," ujarnya.

Eko menegaskan, perbaikan konsumsi rumah tangga tak kunjung membaik, karena dipengaruhi oleh tidak kompaknya Pemerintah, baik itu Kementerian dan lembaga.

 

2 dari 5 halaman

Tidak Terkoordinasi

"Saya rasa sekarang ini kalau saya melihat ketidakpaduan di pemerintah ya. Jadi isu wacana terkait dengan daya beli atau katakanlah jangan dibilang daya beli ya. Kebijakan administrator price-nya pemerintah itu semakin tidak terkoordinasi," ujarnya.

Sebagai contoh, Pemerintah tiba-tiba mengeluarkan wacana akan menetapkan tarif KRL berbasis NIK, kemudian peraturan pembelian BBM bersubsidi dan pembatasan penggunaan LPG bersubsidi, serta kebijakan Tapera yang diperluas untuk pekerja, hingga kenaikan PPN menjadi 12 persen.

"Tidak terkoordinasi sama sekali ya. Kalau kita lihat sekuennya dari mulai tapera ya awal-awal gitu ya. Hampir semuanya kayak semacam mana duluan begitu melempar wacana ini ke publik. Jadi ya hanya soal waktu saja gitu ya. Jadi kita sedang menunggu bom yang sekarang akan sudah mulai disulut dari ini," pungkasnya.

3 dari 5 halaman

Bahaya, Ini yang Terjadi Jika Kelas Menengah Turun

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan jumlah masyarakat kelas menengah pada tahun 2023 dari 23% menjadi 18,82% terhadap total penduduk di Indonesia.

Sementara persentase jumlah penduduk kelas rentan meningkat dari 18,9% menjadi 20,32%, begitu pula masyarakat calon kelas menengah yang meningkat dari 49,6% menjadi 53,45%. Hal ini mengindikasikan bahwa kelas menengah mengalami “turun kelas”.

Ekonom Senior INDEF Bustanul Arifin, mengatakan permasalahan penurunan kelas menengah ini harus menjadi perhatian bersama. Lantaran, kelas menengah memiliki peran yang penting dalam perekonomian.

"Mengapa kita harus peduli? kelas menengah ini faktor penting dalam sosial, ekonomi, dan kita sebut sebagai peletak kualitas dari governance. Jika kelas menengahnya acuh ini trouble (masalah) dan kalau terlibat terlalu jauh juga tidak baik," kata Bustanul dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas", Senin (9/9/2024).

Bustanul menengaskan, pada intinya kelas menengah ini menentukan perubahan terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, kelas menengah juga memainkan peran sosial politik penting, mempengaruhi atau menentukan governansi, kualitas kebijakan dan pertumbuhan ekonomi.

Kemudian, kelas menengah berperan besar dalam proses demokratisasi, kebijakan ekonomi, dan perbaikan aransemen dan kualitas kelembagaan. Namun, dukungan kelas menengah terhadap reforma kebijakan ekonomi dan politik hanya dapat terwujud jika kebijakan sejalan dengan kepentingan mereka.

"Apakah orang kecil tidak diperdulikan? tentu diperdulikan. Tapikan mereka (kelas menengah) sekali lagi driver, mereka penentu," ujarnya.

Selanjutnya, kelas menengah yang aktif secara politik cenderung mendukung demkorasi, walau mereka banyak tuntutan tentang kualitas pelaksanaan demokrasi itu.

"Karena mereka tidak sekedar prosedural, mereka juga ingin terlibat. Yang menarik juga kelas menengah ini antara acuh tapi sok-so'an tak mau terlibat tapi sebetulnya terlibat," pungkasnya.

 

 

4 dari 5 halaman

Bukti Nyata Daya Beli Warga Indonesia Turun

Sebelumnya, turunnya jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat bulan cuma isapan jempol belaka. Turunnya jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat ini sudah dibuktikan oleh para pelaku usaha manakan dan minuman. 

Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan, pelaku usaha makanan dan minuman olahan sudah terdampak fenomena turunnya daya beli masyarakat. Sayangnya, Adhi belum mau mengungkapkan nilai penurunan transaksi perdagangan pelaku  usaha di bawah naungan GAPMMI.

"Kami dari industri juga merasakan, memang daya beli kelas bawah ini agak berat," kata Adhi di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (4/9/2024).

Penurunan daya beli masyarakat ini disebabkan oleh melambungnya aneka harga pangan. Di sisi lain, pendapatan masyarakat tidak mengalami kenaikan yang menyebabkan daya beli menurun.

"Karena memang beberapa kenaikan harga dan di samping itu banyak pengeluaran masyarakat yang harus ditanggung," tegas dia.

Atas kondisi tersebut, GAPMMI meminta pemerintah untuk kembali menggenjot penyaluran bantuan sosial (bansos). Antara lain bantuan langsung tunai (BLT) untuk segera menggenjot daya beli masyarakat. 

"Kita berharap pemerintah bisa lebih fokus bagaimana meningkatkan daya beli kelas bawah ini. Misalnya BLT, BLT itu mungkin perlu digalakkan lagi, supaya bisa menggairahkan pasar terlebih dahulu," tegas dia.

5 dari 5 halaman

Kelas Menengah yang Turun Peringkat Makin Banyak, Ini Datanya

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menggelar press conference dengan tema Menjaga Daya Beli Kelas Menengah Sebagai Fondasi Perekonomian Indonesia pada hari ini. Dalam pemaparannya, BPS menyatakan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan pada 2023 jika dibanding 2019.

Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, jumlah kelas menengah di Indonesia turun. Tercatat, jumlah kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang. Jumlah penduduk kelas menengah ini menyumbang 21,45 persen dari proporsi penduduk.

Fenomena penurunan jumlah penduduk kelas menengah dipicu akibat dampak pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu. Namun, BPS tidak mengungkapkan jumlah penduduk kelas menengah pada 2020 lalu akibat anomali pandemi Covid-19.

"Kalau tahun 2020 agak anomalikan dia, pada saat pandemi covid 19. Datanya ada tapi tidak kami tampilkan," ujar Amalia, di Kantor Pusat BPS, Jumat (30/8/2024).

Pada 2021 jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan tajam menjadi 53,83 juta atau setara 19,82 proporsi penduduk. Dia menyebut, penurunan kelas menengah ini masih disebabkan oleh dampak pandemi Covid-19.

"Jadi, ini sudah kami prediksi akibat pandemi Covid-19 menimbulkan scarring effect," ujar dia.

 

Video Terkini