Sukses

Menteri Bahlil Tepis Pernyataan Ketergantungan Ekspor Nikel Indonesia ke China

Indonesia, masih membuka peluang untuk melakukan kerja sama ekspor nikel dengan negara lainnya.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menepis pernyataan terkait ketergantungan Indonesia kepada China selaku mitra dagang dalam melakukan ekspor nikel, dan menegaskan bahwa Indonesia terbuka untuk negara mana pun.

“Keliru. Ekspor kita ke China kurang lebih sekitar USD 20 miliar, itu untuk nikel. Itu bukan tergantung. Kita kan buka mau negara mana pun silakan beli,” ujar Menteri Bahlil setelah menggunakan hak suaranya di TPS 04 Duren Tiga, Jakarta Selatan melansir Antara, Rabu (14/2/2024).

Ia menjelaskan bahwa memang China sudah melakukan kontrak jangka panjang dengan Indonesia. Akan tetapi, Bahli menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah wujud ketergantungan.

Indonesia, masih membuka peluang untuk melakukan kerja sama ekspor dengan negara lainnya. “Kita terbuka kok. Bagi kita mau ekspor ke mana pun, no problem (tidak masalah),” kata Bahlil.

Dia juga menambahkan bahwa ekspor garmen Indonesia ke Amerika Serikat mencapai lebih dari USD 10 miliar. “Dan pasar-pasar tradisional kita juga besar. Neraca perdagangan kita sekarang sampai 40 bulan, kalau gak salah, 36-40 bulan berturut-turut surplus,” kata dia.

Pernyataan tersebut terkait dengan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal yang menyebut Indonesia masih perlu melakukan diversifikasi ekspor agar tidak bergantung pada negara mitra dagang utama seperti China.

Menurut Faisal, dalam jangka pendek atau sampai 5 tahun mendatang, ketergantungan terhadap pasar China dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke China sebesar 1 persen setiap Produk Domestik China (PDB) naik 1 persen.

Dalam jangka panjang atau sampai 10 tahun mendatang, ekspor Indonesia ke China bisa tumbuh 37,6 persen setiap kenaikan 1 persen PDB China.

Namun pada saat yang sama, penurunan ekonomi China juga berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu tersebut, yang pada akhirnya berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Selain ke China, ekspor Indonesia ke India tumbuh rata-rata sebesar 12,26 persen per tahun, ke negara-negara Asean tumbuh 5,36 persen, ke Jepang tumbuh 2,73 persen, ke Amerika Serikat tumbuh 2,65 persen, dan ke Eropa tumbuh 2,60 persen per tahun.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hilirisasi Nikel 2024 Hanya Bisa Sumbang 0,4% dari Kapasitas Produksi Baterai Dunia

Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menyoroti program hilirisasi nikel di Indonesia, dimana salah satu misinya untuk berpartisipasi dalam produksi baterai kendaraan listrik dunia.

Ia menilai Indonesia masih perlu lebih menggenjot produksi nikel sebagai komponen baterai kendaraan listrik. Menurut perkiraannya, kapasitas produksi komoditas bahan mentah tersebut untuk industri electric vehicle (EV) global di 2024 masih terlampau kecil.

"Energy Shift Institute memperkirakan tahun ini Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt hour (GWh), atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global 2.800 GWh," ujar Putra dalam keterangan tertulis, Jumat (9/2/2024).

"Dengan kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas Indonesia tertinggal jauh di belakang, meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015," imbuh dia.

Putra menganggap isu perihal pemasukan modal asing untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik kerap mengaburkan skala investasi yang sebenarnya untuk produksi baterai. Tersamarkan dalam angka investasi untuk produk setengah jadi.

"Kemajuan memang mulai terjadi dari bahan mentah menuju produk setengah jadi untuk industri baterai. Meski saat ini, sekitar tiga perempat ekspor nikel masih berkaitan dengan industri baja tahan karat," ungkapnya.

"Namun, ketika Indonesia perlahan merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai dan KBLBB (kendaraan bermotor listrik berbasis baterai), perlombaan di antara negara-negara lain sudah berjalan kencang," tegas dia.

 

3 dari 3 halaman

Lebih Cepat dari Permintaan

Oleh karenanya, Putra menekankan, penting untuk dicatat bahwa pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berlangsung lebih cepat dibandingkan permintaan.

Sebagai contoh, dalam semester pertama 2023 lalu, pabrik baterai di China secara rata-rata beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksinya, seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China.

Ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, maka persaingan untuk investasi akan semakin keta meski dalam pasar yang terus tumbuh.

"Sejauh ini, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai," tuturnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini