Liputan6.com, Jakarta - Indonesia akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN 2023 pada 5-7 September 2023. Salah satu hasil kesepakatan yang ditunggu-tunggu masyarakat dari KTT ASEAN ini adalah upaya para pemimpin ASEAN dalam merespons dampak perubahan iklim.
Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Mouna Wasef menjelaskan, kawasan Asia Tenggara lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Secara geografis misalnya, sebagian besar populasi berada di wilayah pesisir dan kepulauan, sangat beresiko atas naiknya permukaan air laut.
Baca Juga
Intensitas banjir, angin topan, dan bencana akibat cuaca ekstrem di kawasan ini juga cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Advertisement
Mouna mengatakan, ASEAN berada di garis depan dalam risiko iklim. Dengan menggunakan skenario suhu global rata-rata bertambah 2,3 derajat celsius pada tahun 2050, 600 juta penduduk Asia berpotensi dilanda gelombang panas tahunan; 75 persen potensi kerugian ekonomi akibat banjir tahunan; dan meningkatnya tiga atau empat kali curah hujan ekstrem di sejumlah wilayah Asia, termasuk kawasan ASEAN.
"ASEAN sebagai sebuah kawasan dapat kehilangan 37,4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2048 jika mitigasi perubahan iklim dan transisi energi tidak dilakukan," kata dia dalam keterangan tertulis, Minggu (27/8/2023).
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand akan kehilangan output perekonomian dengan total lebih dari tujuh kali lipat PDB pada tahun 2050.
"Dengan PDB Indonesia yang saat ini mencapai Rp21.000 triliun, maka Indonesia berpotensi akan mengalami kerugian senilai Rp 147.000 triliun jika tidak melakukan mitigasi perubahan iklim.” tambah Mouna.
Harapan dan ekspektasi tinggi publik terhadap hasil KTT ke-43 ASEAN 2023 dalam merespon isu perubahan iklim harus diiringi dengan adanya concrete deliverable sekaligus komitmen tinggi dalam implementasinya.
“Harus diakui, masih banyak pesimisme terhadap pelaksanaan komitmen pemimpin ASEAN dikarenakan adanya ‘prinsip non campur tangan’ dan penghormatan terhadap kedaulatan nasional sebagai faktor penghambat. Selain itu, tidak adanya mekanisme akuntabilitas terhadap dokumen komitmen juga jadi faktor penghalang.” jelas Mouna.
Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca
ASEAN sebenarnya sudah memiliki sejumlah dokumen komitmen untuk mengatasi dampak perubahan iklim, melalui percepatan transisi energi, diantaranya ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2016 – 2025, ASEAN Energy Outlook 2017 – 2040, dan ASEAN Joint Statement on Climate Change COP23.
Dalam Rencana Kerjasama Energi ASEAN Tahap II 2021-2025, telah ada komitmen untuk mengurangi 25% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030. Juga untuk meningkatkan porsi energi terbarukan menjadi 23% pada tahun 2025 dari total pasokan energi primer.
“Lagi-lagi pertanyaannya sama, apakah ada mekanisme akuntabilitasnya? Jika ada komitmen tidak dilaksanakan oleh negara anggota ASEAN, adakah konsekuensinya?”
Untuk itu, peran Indonesia sebagai Keketuaan ASEAN 2023 sekaligus negara demokrasi terbesar di kawasan sangat strategis untuk dapat mengarahkan sekaligus memberikan contoh konkret dan komitmen mempercepat pelaksanaan transisi energi.
“Kami juga mendesak para Pemimpin ASEAN, khususnya Pemerintah Indonesia untuk dapat lebih banyak memberikan ruang bagi keterlibatan publik, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis dalam sejumlah pembahasan terkait transisi energi di forum-forum ASEAN” tegas Mouna.
Advertisement
Menyoal Keadilan Transisi Energi
Terkait isu transisi energi dalam keketuan ASEAN 2023 ini, Pemerintah Indonesia menyebut dalam triwulan pertama berhasil menyepakati prioritas penguatan ketahanan energi melalui pembangunan ekosistem kendaraan listrik.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam sambutannya pada Joint Opening The 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM-41) and The ASEAN Business Energy Forum (AEBF) di Bali menyebut di sektor energi Indonesia akan berfokus pada tujuan utama ketahanan energi berkelanjutan melalui interkonektivitas, diantaranya meningkatkan interkonektivitas melalui Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dan ASEAN Power Grid (APG), serta komitmen antarpihak lainnya.
“Namun demikian, komitmen transisi energi, sejauh ini lebih banyak terfokus pada aspek teknokratis pengurangan penggunaan energi fossil dan mempercepat pengembangan energi terbarukan, namun mengabaikan aspek keadilan, termasuk keadilan gender dan inklusi sosial sebagai faktor pemungkin (enabling factor) untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan” ungkap Mouna.
Mouna menjelaskan bahwa kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya seringkali kurang terwakili di sektor energi dalam hal pekerjaan, peran kepemimpinan, akses energi, pengambilan keputusan, dan pengembangan kebijakan karena norma-norma sosial, kurangnya pendidikan dan pelatihan, serta akses yang tidak memadai terhadap teknologi dan keuangan.
Selain itu, masyarakat yang terpinggirkan dan rentan mempunyai hambatan dalam mengakses layanan energi. Kurangnya akses terhadap layanan energi bagi masyarakat rentan berpotensi melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Sementara itu, kurangnya akses terhadap partisipasi dan keterlibatan, khususnya dalam perencanaan dan implementasi kebijakan, akan menghambat transisi energi yang adil dan inklusif.