Sukses

Korupsi, Perusahaan Swiss Glencore Wajib Bayar Ganti Rugi ke Kongo Rp 2,7 Triliun

Glencore mengatakan penyelesaian kasus korupsi di Kongo akan mencakup semua klaim saat ini dan mendatang yang timbul dari dugaan tindakan korupsi antara tahun 2007 dan 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan pertambangan yang berbasis di Swiss, Glencore mengatakan akan mulai membayar ganti rugi sebesar USD 180 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun kepada Republik Demokratik Kongo untuk menyelesaikan kasus korupsi.

Ini merupakan babak terbaru dari serangkaian kasus korupsi yang mendorong Glencore sepakat untuk membayar denda lebih dari USD 1,6 miliar atau Rp 24,8 triliun tahun ini.

Dikutip dari BBC, Selasa (6/12/2022) perusahaan pertambangan itu mengatakan penyelesaian dengan pemerintah Kongo akan mencakup "semua klaim saat ini dan mendatang yang timbul dari dugaan tindakan korupsi" oleh Grup Glencore antara tahun 2007 dan 2018.

"Glencore merupakan investor lama di DRC dan senang telah mencapai kesepakatan ini untuk mengatasi konsekuensi dari perilakunya di masa lalu," kata ketua Glencore, Kalidas Madhavpeddi.

Kesepakatan pembayaran ganti rugi ini mengikuti penyelidikan oleh otoritas Amerika Serikat, Inggris dan Brasil yang juga mencakup klaim korupsi di kawasan Amerika Latin.

Meskipun terkena denda, Glencore diperkirakan masih akan mendapat keuntungan sekitar USD 3,2 miliar (Rp 49,6 triliun) tahun ini.

"Penyuapan adalah pelanggaran yang sangat korosif. Secara harfiah itu merusak orang dan perusahaan, dan menyebar seperti penyakit," ujar  Hakim Fraser, dalam komentarnya terkait kasus korupsi yang menyeret Glencore.

Ketua Glencore, Madhavpeddi juga telah mengakui praktik yang tidak dapat diterima oleh perusahaan itu dan menyatakan bahwa perusahaan tidak lagi melakukan tindakan tersebut.

Pada Mei 2022, Glencore juga mengaku membayar suap jutaan kepada pejabat di Kamerun, Guinea Khatulistiwa, Pantai Gading, Nigeria, Sudan Selatan, Brasil, dan Venezuela.

Perusahaan itu juga menerima serangkaian hukuman, dengan pengadilan Inggris bulan lalu memerintahkan untuk membayar denda sebesar lebih dari 285 juta pundsterling atas kasus suap di Afrika terkait dengan perdagangan komoditas yang berbasis di London.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Terseret Kasus Suap, Raksasa Pertambangan Glencore Hadapi Denda Rp 3,2 Triliun

Raksasa pertambangan Glencore menghadapi denda hingga ratusan juta poundsterling terkait kasus suap pada pejabat di negara-negara Afrika untuk mendapatkan akses ke minyak. Perusahaan itu dilaporkan harus membayar USD 26 juta atau sekitar Rp 408,8 miliar melalui sebuah agen dan karyawan kepada pejabat perusahaan minyak mentah di Nigeria, Kamerun dan Pantai Gading antara tahun 2011 dan 2016.

Melansir laman CNBC, Jumat (4/11/2022), Jaksa mengatakan karyawan dan agen migas Glencore Energy di Inggris menggunakan jet pribadi untuk mentransfer uang tunai dan membayar suap.

Glencore Energy pun telah mengaku bersalah atas tujuh pelanggaran korupsi pada Juni 2022. Hakim Peter Fraser di Southwark Crown Court kemudian memerintahkan perusahaan itu untuk membayar denda sebesar 182,9 juta poundsterling atau sekitar Rp 3,2 triliun.

Selain itu, hakim juga menyetujui penyitaan uang senilai 93,5 juta poundsterling (Rp 1,6 triliun).

Bersama dengan lima tuduhan suap, perusahaan itu mengakui tuduhan gagal mencegah agen menggunakan suap untuk mengamankan kontrak minyak di Guinea Ekuatorial dan Sudan Selatan.

Hakim Fraser dalam pernyataan pengadilannya juga mengatakan bahwa Glencore telah mengaku bersalah mewakili "korupsi perusahaan dalam skala luas, menggunakan uang dalam jumlah yang sangat besar dalam suap".

"Korupsi itu berlangsung lama, dan terjadi di lima negara terpisah di Afrika Barat, tetapi berasal dari meja perdagangan minyak Afrika Barat dari terdakwa di London. Itu merupakan endemik di antara para pedagang di meja khusus itu," tambahnya.

Didirikan pada tahun 1974, Glencore merupakan salah satu perusahaan perdagangan komoditas dan pertambangan multinasional terbesar di dunia. Anak perusahaannya beroperasi di lebih dari 35 negara, dengan kantor Glencore di London mengelola bisnis minyak, dengan salah satu divisi minyak mentahnya bertanggung jawab di Afrika Barat.

3 dari 3 halaman

Pihak Glencore Akui Pelanggaran Suap

Sementara itu, perwakilan dari Glencore, yakni Clare Montgomery menyampaikan permintaan maaf dari pihak perusahaan atas kasus suap tersebut.

mengatakan: "Perusahaan tanpa pamrih menyesali kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran ini dan mengakui kerugian yang ditimbulkan, baik di tingkat nasional maupun publik di negara-negara Afrika yang bersangkutan, serta kerusakan yang ditimbulkan pada orang lain," tuturnya.

Hakim Fraser mengatakan dalam pernyataan hukumannya bahwa Glencore "terlibat dalam reformasi perusahaan dan hari ini tampaknya menjadi perusahaan yang sangat berbeda dari pelanggaran ini".

Lisa Osofsky, direktur badan inverstasi kasus penipuan Serious Fraud Office, mengatakan kasus itu adalah yang pertama kalinya sejak diperkenalkannya Undang-Undang Penyuapan 2010 "bahwa sebuah perusahaan telah dihukum karena otorisasi aktif penyuapan, bukan murni kegagalan untuk mencegahnya".

"Selama bertahun-tahun dan di seluruh dunia, Glencore mengejar keuntungan yang merugikan pemerintah nasional di beberapa negara termiskin di dunia. Keserakahan dan kriminalitas perusahaan yang kejam telah terungkap dengan benar," tambah Osofsky. 

Tak hanya Inggris, Amerika Serikat ternyata juga pernah menyelidiki kasus pelanggaran yang melibatkan Glencore.

Pada tahun 2018, Departemen Kehakiman AS meluncurkan penyelidikan terhadap Glencore terkait undang-undang pencucian uang dan korupsi sejak tahun 2007. Penyelidikan ini menyangkut operasi raksasa pertambangan di Nigeria, Kongo dan Venezuela.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.