Sukses

Eksportir Asia Bakal Merana Dampak Anjloknya Permintaan AS hingga Eropa

Kepala ekonom Asia HSBC Frederic Neumann, menyebut lambatnya permintaan dari kawasan Amerika hingga Eropa menimbulkan tantangan bagi eksportir Asia.

Liputan6.com, Jakarta - Eksportir di Asia diperkirakan bakal menghadapi tantangan yang signifikan karena permintaan dari pasar utama seperti Amerika, Eropa dan China akan melambat dalam beberapa bulan mendatang.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala ekonom Asia HSBC, Frederic Neumann. 

"Perlu diingat bahwa Eropa adalah pasar ekspor utama bagi eksportir Asia," kata ekonom itu, dikutip dari CNBC International Selasa (9/8/2022).

"Kami juga memperkirakan pada dasarnya penurunan pengiriman yang terjadi pada paruh kedua tahun ini, yang melengkapi poros dalam pengeluaran AS yang jauh dari barang. Perlambatan AS dan Eropa akan menjadi hambatan bagi eksportir Asia," lanjut dia dalam segmen CNBC Squawk Box Asia.

Neumann juga menyebut, perlambatan ekonomi di China akan semakin menambah hambatan yang dihadapi eksportir di kawasan Asia.

"Sangat jelas data perdagangan… menunjukkan pelemahan permintaan domestik ini. China adalah pasar ekspor besar ketiga yang benar-benar perlu kita dukung — yang juga sepertinya tidak benar-benar meningkat. Dari perspektif itu, resesi perdagangan tidak dapat dikesampingkan pada saat ini," tambahnya.

Biro Statistik Nasional China (NBS) pekan lalu mengatakan bahwa indeks manajer pembelian manufaktur resmi turun menjadi 49,0 pada bulan Juli dari 50,2 yang dilaporkan pada Juni 2022.

China, yang ekonominya hanya tumbuh 0,4 persen yoy di kuartal kedua, merupakan pasar ekspor utama bagi banyak negara Asia.

Oleh karena itu, perlambatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan berdampak secara keseluruhan di seluruh kawasan.

"Sektor manufaktur benar-benar bagian paling rapuh dari ekonomi global saat ini," ungkap Neumann.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Lonjakan Inflasi yang Belum Menunjukkan Pemulihan

Ditambah lagi, prospek manufaktur global yang lemah semakin diperumit dengan melonjaknya inflasi di banyak negara maju.

"Belum lagi ada masalah inflasi. Ini akan menjadi salah satu yang sulit ... dan kami pikir masalag itu akan bertahan hingga tahun ini, meskipun ada perlambatan di bidang manufaktur," kata Neumann.

Meski harga komoditas sudah mulai turun, yang dapat meredam inflasi utama, tetapi Neumann memperingatkan bahwa inflasi inti tetap tinggi dab masih mempengaruhi upah hingga gangguan rantai pasokan. 

Inflasi yang tinggi di berbagai negara maju diperkirakan akan merugikan eksportir Asia karena tekanan harga.

"Jangan salah, kami melihat inflasi inti yang sangat lengket," pungkas Neumann.

"Dan tentu saja, gangguan rantai pasokan di Asia tidak membantu dalam hal menurunkan tekanan harga dalam beberapa bulan mendatang," bebernya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

IMF Wanti-wanti Krisis Sri Lanka jadi Peringatan Bagi Ekonomi Negara Asia Lain

Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa krisis ekonomi di Sri Lanka merupakan peringatan bagi ekonomi di negara-negara Asia lainnya.

Diketahui bahwa Sri Lanka tengah berada di tengah krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memicu protes besar dan melihat presidennya mundur setelah melarikan diri dari negara itu.

"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan. Tidak terabaikan lagi Sri Lanka menjadi tanda peringatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dikutip dari BBC, Senin (18/7/2022). 

Lebih lanjut, Georgieva mengatakan bahwa negara-negara berkembang juga mengalami arus keluar modal yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut, menempatkan impian mereka untuk mengejar ekonomi maju terhambat.

Sri Lanka kini sedang berjuang untuk membayar impor penting seperti pangan, bahan bakar dan obat-obatan untuk 22 juta penduduknya, saat negara itu berjuang melawan krisis valuta asing.

Inflasi Sri Lanka sendiri telah melonjak sekitar 50 persen, dengan harga pangan 80 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Ditambah lagi, Rupee Sri Lanka telah merosot nilainya terhadap dolar AS dan mata uang global utama lainnya tahun ini.

Sejumlah besar publik di negara itu menyalahkan kepemimpinan mantan presiden Gotabaya Rajapaksa dalam menangani ekonomi dengan kebijakan yang dampaknya hanya diperparah oleh pandemi Covid-19.

Selama bertahun-tahun, Sri Lanka telah menumpuk sejumlah besar utang.

Bulan lalu, Sri Lanka menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik dalam 20 tahun yang gagal membayar utang luar negerinya.

Para pejabat Sri Lanka telah bernegosiasi dengan IMF untuk paket bailout USD 3 miliar. Namun pembicaraan tersebut saat ini terhenti di tengah masalah politik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.