Sukses

Perbankan Dipandang Belum Serius Dorong Dekarbonisasi

Masih banyak praktik bank yang mengklaim telah memberikan pendanaan kegiatan usaha berkelanjutan padahal hanya berupa porsi kegiatan sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Dorongan pembiayaan hijau oleh perbankan nasional dianggap belum cukup jika tidak diimbangi oleh upaya dekarbonisasi, yaitu dengan menyetop pembiayaan untuk industri batu bara. Bank didorong untuk segera membersihkan portfolio dari batu bara karena merupakan industri penghasil emisi yang berkontribusi besar pada krisis iklim.

Senior Analyst Climate Policy Initiative Luthfyana Larasati menjelaskan, bank BUMN telah menjadi bagian dari pendorong sustainable finance. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik, terdapat 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan di mana 11 kriteria di antaranya masuk dalam aspek sustainability seperti energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan berkelanjutan serta konservasi keanekaragaman hayati darat dan air.

Selanjutnya, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air dan air limbah berkelanjutan, adaptasi perubahan iklim, pengelolaan air dan air limbah berkelanjutan, bangunan berwawasan lingkungan yang memenuhi standar atau sertifikasi secara nasional, regional atau internasional. Terakhir, kegiatan usaha dan atau kegiatan lain dari kegiatan usaha berwawasan lingkungan lainnya serta kegiatan usaha dan atau kegiatan lain dari UMKM.

Namun, temuan analisis kami mengungkap bahwa dalam periode 2019-2021, ternyata porsi yang benar-benar untuk pendanaan berkelanjutan yakni terhadap 11 kegiatan oleh perbankan hanya 27 persen sementara mayoritas justru diberikan hanya untuk kegiatan sosial UMKM.

"Dengan kata lain, masih banyak praktik bank yang mengklaim telah memberikan pendanaan kegiatan usaha berkelanjutan padahal hanya berupa porsi kegiatan sosial. Harapan kita tentunya tidak terdapat loophole seperti ini.” jelas Luthfyana dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (14/6/2022).

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bank Belum Ambisius

Selain itu, OJK juga telah menerbitkan Taksonomi Hijau (Green Taxonomy), dimana terdapat 919 sektor yang telah dikonfirmasi oleh kementerian terkait. Namun, Green Taxonomy tersebut diketahui memiliki pembagian kategori yaitu hijau (tidak merusak lingkungan), kuning (perlu ditinjau lebih lanjut) dan merah.

Sayangnya, dalam kategori kuning disebutkan terdapat clean coal, yang artinya masih boleh didanai oleh bank meski dengan melakukan penilaian lebih tinggi. Menurut Luthfyana, publik harus sadar bahwa kita bisa memberi mandat saat menaruh uang ke bank.

“Kita bisa mendorong Bank-nya untuk mendanai sektor yang lebih hijau,” tuturnya.

Dia juga menambahkan bahwa inisiatif dari masing-masing bank belum ambisius jika belum ada mandat dari regulator (OJK), sehingga OJK juga perlu menaikan standar tersebut.

Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo mengungkapkan, sektor perbankan harus menerjemahkan terminologi coal-phase out dengan tepat. Idealnya, upaya ini tidak semata untuk berhenti mendanai proyek-proyek PLTU batu bara, tetapi menyasar pada hulu pertambangan, hingga produk turunan pemanfaatan batubara lain seperti gasifikasi batubara.

“Ke depan, bank yang tidak menunjukkan keberpihakan yang jelas dan tegas pada isu krisis iklim (baik kebijakan-praktik) akan berpotensi besar untuk ditinggalkan, dimana nasabah akan beralih ke bank-bank yang dinilai memiliki orientasi lingkungan dan iklim yang lebih baik.” kata dia.

 

3 dari 4 halaman

Ekonomi Sirkular dan Bisnis Berkelanjutan Modal Jaga Kelestarian Lingkungan

Perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat termasuk mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir. Kondisi ini juga mendorong banyak pelaku usaha untuk menjalankan bisnis berkelanjutan.

Perusahaan tidak hanya mengejar profit, tapi juga menjalankan bisnis yang ramah lingkungan (planet) dan memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat (people).

Lebih dari itu, urgensi bisnis berkelanjutan telah menjadi sebuah kebutuhan perusahaan di masa depan.Berbagai pendekatan kemudian digunakan dalam pelaksanaannya, di antaranya Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Environment, Social, and Governance (ESG).

Implementasinya diharapkan dapat menghadirkan dampak positif di wilayah operasional perusahaan, sekaligus mampu menjadi sarana hubungan baik dengan masyarakat sekitar dan pemerintah.

Hal ini merupakan sebuah langkah bagi korporasi untuk bisa menjalankan bisnisnya dengan baik, sekaligus menghadirkan inklusi sosial ketika perusahaan dan masyarakat di sekitarnya bisa berjalan dan maju bersama.

Menanggapi perubahan iklim serta kaitannya dengan operasi bisnis berkelanjutan yang dilakukan perusahaan, tokoh pemerhati lingkungan, Alexander Sonny Keraf, menyampaikan, isu yang berkembang saat ini bukan hanya perubahan iklim, tapi juga dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi sejak revolusi industri.

Pasalnya, sejak revolusi industri terjadi, sebagian besar industri menggunakan energi fosil sebagai penggerak operasi perusahaan.

Bagi mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup di era Presiden KH Abdurahman Wahid ini, ada empat imbas dari revolusi industri yakni berupa pencemaran baik udara, air, lahan, lalu kerusakan lingkungan seperti hutan hingga kerusakan lapisan ozon.

“Ketiga adalah kepunahan aneka ragam hayati baik flora dan fauna yang merupakan sumber pangan dan obat-obatan sekaligus rantai kehidupan. Barulah berikutnya yang keempat kita sebut sebagai pemanasan global dan perubahan iklim dengan dampaknya yang dahsyat termasuk berkembang biaknya penyakit lama maupun penyakit baru,” kata lulusan jurusan filsafat Universitas Leuven Belgia ini, dikutip, Minggu (29/5/2022).

Salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh para pelaku usaha, menurut Sonny, adalah dilakukannya konsep ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular merupakan model industri baru yang berfokus pada reducing, reusing, dan recycling yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah.

“Saat ini dunia usaha menyadari pentingnya tanggung jawab yang berkelanjutan bagi keberlangsungan komunitas dan lingkungan. Sementara konsumen secara global juga mulai sadar dan khawatir dengan krisis bumi dan krisis iklim, yang membuat mereka semakin menuntut produk dan model bisnis yang ramah lingkungan,” kata Sonny.

 

4 dari 4 halaman

Penerapan Bisnis Hijau

Kesadaran secara global ini juga berujung pada penerapan berbagai kebijakan yang memaksa dunia usaha untuk berubah ke arah penerapan bisnis hijau, lewat penerapan pajak karbon.

“Itulah yang menyebabkan kenapa sekarang banyak perusahaan tak hanya sekedar gagah-gagahan, tapi juga serius mengimplementasikan berbagai kebijakan dan mekanisme serta model produksi yang lebih hijau,” imbuhnya.

Kendati ia menyebut model ekonomi sirkular sesungguhnya belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, tapi ia yakin mau tidak mau Indonesia akan mengimplementasikan ekonomi hijau dan ekonomi sirkular.

Kelak seluruh biaya terkait sumber daya alam dan biaya pengelolaan limbah akan dikalkulasi dan diinternalisasi ke dalam akuntansi keuangan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan akan mengurangi limbah dan harus lebih efisien dan bertanggung jawab dalam penggunaan sumber daya alam.

Salah satu contoh di ekonomi sirkular yang berkembang, lanjut Sonny, adalah penerapan extended producer responsibility, atau tanggung jawab produsen yang lebih luas, khususnya menyangkut sampah atau limbah.

Selama ini telah terjadi salah kaprah karena menganggap sampah merupakan tanggung jawab konsumen. Sehingga masyarakat konsumen lah yang didesak untuk memilah, mengumpulkan, dan membuang sampah di tempatnya.

“Kita lupa bahwa sampah itu sumbernya dari produsen juga, khususnya sampah industri atau sampah kebutuhan konsumsi, seperti botol dan kotak minuman kemasan. Maka dalam ekonomi sirkular, ada kewajiban produsen untuk mengelola sampahnya sejak awal, yaitu saat mendesain atau merancang barang yang akan diproduksi. Kalau dia sudah merancangnya sejak awal, maka ia akan memilih bahan baku kemasan yang tidak akan menimbulkan sampah. Atau mereka akan bertanggung jawab untuk mengumpulkan kembali sampah plastik atau kardus yang menjadi sisa-sisa dari produksinya,” kata Sonny.

Langkah tersebut menurutnya juga membutuhkan kolaborasi berbagai pihak termasuk stake holder dan masyarakat khususnya konsumen, agar memiliki kesadaran untuk ikut berpartisipasi dengan cara memilah sampah sesuai dengan pengelompokannya, sehingga membantu memudahkan proses daur ulang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.