Sukses

Presidensi G20 Indonesia Bisa Dimanfaatkan Tengahi Perang Rusia Ukraina

Meski Perang Rusia Ukraina dapat memunculkan dampak besar ke ekonomi, Presidensi G20 Indonesia masih bisa mengambil dampak positif dari konflik tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Publik internasional, termasuk negara-negara Barat, digegerkan dengan perang Rusia Ukraina yang baru meletus.

Meski ketegangan Rusia Ukraina dapat memunculkan dampak yang cukup signifikan bagi ekonomi, Indonesia ternyata masih bisa mengambil dampak positif dari konflik tersebut. Hal yang bisa dipertimbangkan sebagai peluang, bahkan dalam jangka waktu dekat.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa Pemerintah harus bisa melakukan intervensi dengan mengajak negara-negara yang sedang dalam konflik, termasuk Rusia dan Amerika Serikat, untuk duduk bersama dalam forum G20, membahas resolusi dari konflik.

"Indonesia bisa menjadi penengah karena tidak memiliki kepentingan langsung terhadap konflik yang ada di Ukraina," jelas Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, Jumat (25/2/2022).

"Kalau itu bisa dilakukan, sebagai Presidensi G20 Indonesia juga akan dianggap sukses," ujar dia. Peluang lainnya, adalah menarik potensi investasi ke Indonesia.

"Seperti relokasi pabrik besi dan baja, kemudian beberapa pabrik elektronik maupun otomotif, sparepart otomotif, agar dilakukan pendekatan kepada produsen yang memiliki basis produksi di Rusia maupun Ukraina untuk segera beralih ke Indonesia, dan disiapkan insentif khususnya," ungkap Bhima.

Sementara dalam kemungkinan terburuk, Bhima menyebut, dampak ekonomi Indonesia dari ketegangan Rusia-Ukraina akan paling terasa di sektor keuangan.

Hal ini terlihat dari kondisi Rupiah yang sudah melemah dan bergerak di Rp 14.500, dan bisa terus bergerak mendekati level Rp 15.000.

"Dalam kondisi konflik, jika eskalasinya semakin meluas dan melibatkan banyak negara, ini bisa berdampak pada stabilitas di kawasan, dan tentunya ini akan merugikan prospek pemulihan, stabilitas moneter yang ada di Indonesia, karena bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga yang terjadi di negara-negara maju," kata Bhima.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Ekonomi Indonesia

Harga komoditas, juga menjadi efek ekonomi yang bisa dihadapi Indonesia.

"Dengan minyak mentah yang sudah tembus USD 100 per barel, akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya pengiriman (logistik) menjadi jauh lebih mahal. Efeknya adalah harga kebutuhan pokok semakin meningkat, daya beli masyarakat semakin rendah, dan efek terhadap subsidi energi juga akan membengkak cukup singnifikan," papar Bhima.

"Karena pada asumsi makro APBN, harga minyak hanya tercatat USD 63 per barel, jadi ini berbanding jauh antara minyak yang ditetapkan dalam APBN, maupun harga minyak mentah yang sudah ada dilapangan. Maka imbasnya pasti ada pembengkakan dari subsidi energi yang signifikan," lanjut dia.

Dengan demikian, Bhima menyarankan, Pemerintah baiknya segera melakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah, juga inflasi.

"Karena inflasinya bisa lebih tinggi dari perkiraan, dan perlu dilakukan antisipasi seperti tambahan dana PEN, yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan harga energi. Karena ini serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022," imbuhnya.

"Jadi ketika Pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, maka harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya, juga BBM (Pertamax-Pertalite), agar terjaga hingga akhir tahun," bebernya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.