Sukses

100 Lembaga Keuangan Global Tak Lagi Biayai Sektor Batu Bara, Bagaimana Indonesia?

Sebanyak 100 lembaga finansial telah memiliki kebijakan untuk keluar dari pendanaan sektor batu bara.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga finansial global banyak yang tidak lagi melakukan pembiayaan ke batu bara dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berkebalikan dengan beberapa bank di Indonesia yang masih mendanai batu bara.

Studi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkap sebanyak 100 lembaga finansial telah memiliki kebijakan untuk keluar dari pendanaan sektor batu bara. Hal ini dilakukan karena batu bara dianggap tidak sesuai dengan kampanye energi bersih atau berkelanjutan.

Sementara, laporan Urgewald  di 2020 menyebut terdapat enam bank nasional Indonesia yang memiliki portofolio pembiayaan ke perusahaan batu bara baik hulu maupun hilir.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan, respons bank domestik kontradiktif dengan tren global dalam menerapkan model pembiayaan berkelanjutan.

“Bank nasional bukannya melihat keluarnya jasa keuangan internasional dari bisnis batu bara sebagai suatu pertanda akan kelamnya masa depan industri ini, tetapi malah melihat ruang pendanaan yang tercipta sebagai peluang,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Selasa (25/1/2022).

Andri menekankan bahwa komitmen lembaga perbankan untuk keluar dari bisnis batu bara (coal phase out), harus dilakukan dari hulu ke hilir. Artinya, bank tidak hanya berhenti mendanai PLTU batu bara, tetapi juga berhenti mendanai perusahaan tambang batu bara dan produksi produk turunan batu bara seperti DME dan gasifikasi yang ini sedang digenjot pemerintah.

“Bank perlu berhenti mendanai entitas mana pun yang masih memiliki batu bara dalam portofolionya, jadi bukan hanya perusahaan batu bara,” imbuhnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Krisis Iklim

Indonesia Team Leader 350 Indonesia Sisilia Nurmala Dewi menuturkan, potensi kerugian negara dari krisis iklim tidak sedikit. Saat ini, setiap tahunnya, kerugian akibat krisis iklim yang harus ditanggung APBN adalah Rp 110 triliun dan angka itu akan baik menjadi Rp 115 triliun per tahun pada 2024, menurut Bappenas.

“Transisi energi penting untuk atasi krisis iklim dan investasi yang dibutuhkan tidak sedikit. Namun, kenapa sebagian besar stimulus fiskal diberikan kepada pihak-pihak yang bakar energi fosil yang malah akan memukul mundur upaya Indonesia untuk melakukan transisi energi.” paparnya.

Sejak perjanjian Paris ternyata masih banyak banget uang bank swasta dan nasional yang mengalir ke industri batu bara, yaitu sebanyak Rp 89 triliun dari 6 bank di Indonesia sejak tahun 2008.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.