Sukses

SIN Pajak Digadang Jadi Cara Pencegahan Korupsi

SIN Pajak dapat digunakan baik untuk ekstensifikasi maupun intensifikasi dalam penerimaan pajak

Liputan6.com, Jakarta Penerapan Single Identity Number (SIN) dalam data perpajakan disebut-sebut mampu menekan tindak korupsi di sektor perpajakan. Hal itu diungkapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam disertasinya.

Disertasi dengan judul “Eksistensi Single Identity Number Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi” mengacu konsep transparansi.

Sebagai Informasi, Hadi Poernomo baru menyelesaikan studi doktor hukum di Universitas Pelita Harapan.

Hadi memandang SIN Pajak dapat digunakan sebagai pencegahan korupsi karena memiliki karakteristik yang sama, yaitu adanya kesempatan dari subyek untuk menyembunyikan harta dan cara perolehannya.

Dalam perpajakan, kesempatan tersebut didapat karena pemberlakukan Self Assessment System melalui UU 6/1983 yang memberikan kewenangan wajib pajak (WP) untuk menghitung sendiri mengenai penghasilannya dalam SPT.

“Yang kemudian terjadi adalah, WP merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT karena DJP tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut,” tulisnya dalam keterangan resmi yang diterima, Minggu (15/8/2021).

Ide ini berasal dari konsep transparansi yang sudah digagas sejak zaman Bung Karno melalui Perppu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak.

Konsep transparansi pada Perppu 2/1965 tersebut direformulasi kembali mulai tahun 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Keputusan Bersama Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001. Konsep tersebut dituangkan dalam UU 19/2001 pada 14 November 2001.

Berdasarkan hal tersebut, sejak 2001 DJP melakukan penandatanganan MoU dengan pihak terkait baik dari Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga, Swasta dan Pihak-pihak lain untuk membuka data baik yang non rahasia, baik data finansial maupun non finansial, dan menyambungkan data tersebut secara sistem ke DJP.

Bahkan undang-undang mengenai transparansi melalui SIN Pajak yang telah hadir sejak tahun 2007 melalui UU 28/2007 pada Pasal 35A dan disempurnakan lagi pada tahun 2017 melalui UU 9/2017.

Pasal 35A UU 28/2007 menyebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP.

Era tersebut memberi kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial/non finansial ke DJP, meskipun masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Aturan Khusus Akses Informasi Keuangan

Selanjutnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu 1/2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk repenting perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI. Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan lembaga legislatif melalui UU 9/2017.

UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, antara lain UU tentang perbankan.

Sehingga semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non rahasia dan data finansial maupun non finansial.

“Namun meskipun secara de jure SIN Pajak ini telah memiliki landasan yang kuat, namun secara de facto SIN Pajak ini belum dapat terlaksana,” kata Hadi yang juga pernah menjabat ketu BPK itu.

Salah satu faktornya adalah Inkonsistensi regulasi, yaitu ketentuan UU yang belum lurus terkait dengan akses DJP terhadap transaksi keuangan, menjadi salah satu penyebabnya. Dalam peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam peraturan pemerintah, yang diturunkan kembali dalam peraturan menteri serta surat edaran.

Aturan-aturan tersebut secara jelas membuat pengaturan yang melampaui peraturan yang di atasnya, antara lain adanya subdelegasi aturan yang tidak sesuai kaidah, pembatasan penggunaan dan pembatasan nilai.

Misalnya dalam Pasal 35A UU KUP jelas diatur dengan penggunaan frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” yang menurut ketentuan yang diatur dalam Angka 203 Bab II Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memiliki arti bahwa pendelegasian pembentukan peraturan turunan Pasal 35A UU KUP diberikan kepada peraturan setingkat Peraturan Pemerintah.

Namun, pada kenyataannya pasal tersebut diatur dengan didelegasikan kembali ke tingkat peraturan menteri. Akibatnya tujuan dan sasaran dari UU yang mengaturnya tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga perlu executive review atau revisi atas peraturan oleh lembaga eksekutif secara lengkap dengan melakukan review atau mengubah atau mengganti beberapa peraturan yang inkonsisten.

Jadi Badan Otonom

Selain itu, faktor kelembagaan juga perlu menjadi perhatian. DJP saat ini merupakan sebuah eselon 1 di bawah sebuah kementerian.

Padahal DJP mengemban amanat dari UUD1945 dan 9 undang-undang, antara lain UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Bea Meterai, UU PBB, UU PPSP, UU TA, UU Akses Informasi Keuangan, UU Ciptaker, dan UU Pengadilan Pajak.

Selain faktor kewenangan, DJP juga memiliki sejumlah kendala membangun SIN antara lain KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi) terkait dengan data kurang berfungsi karena faktor kelembagaan tersebut, dimana DJP harus melakukan koordinasi secara lintas kementerian. Sehingga perlu reformulasi kelembagaan DJP untuk menjadi sebuah badan otonom yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden.

Ia memandang SIN Pajak merupakan sebuah alat yang krusial dalam penerimaan perpajakan. SIN Pajak dapat digunakan baik untuk ekstensifikasi maupun intensifikasi dalam penerimaan pajak, sehingga SIN Pajak dapat menjadi jalan bagi Indonesia untuk terbebas dari utang negara sampai mencapai kemandirian fiskal. Tujuan utamanya pencapaian kesejahteraan bangsa secara mandiri melalui pajak.

Hadi menegaskan, melalui konsep link and match SIN Pajak dapat digunakan juga untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Konsep link and match tersebut akan dapat memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT.

Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP. Dalam penanganan kasus korupsi dikenal pembuktian terbalik, sehingga WP yang melaporkan SPT secara tidak benar akan diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara legal.

“Hal tersebut akan membuat WP akan berpikir ulang untuk melakukan sebuah perolehan harta secara ilegal, sehingga SIN pajak akan dapat digunakan untuk pemberantasan korupsi. Bahkan dengan konsep link and match tersebut, SIN Pajak dapat digunakan untuk mengurangi kredit macet secara signifikan,” tutupnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.