Sukses

Pajak Karbon Bisa Dipakai untuk Bansos

Hasil penerimaan pajak karbon nantinya memiliki banyak manfaat dan saluran belanja. Opsi pertama adalah untuk penanggulangan dampak perubahan iklim.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana untuk menerapkan pasar karbon pada 2025 atau tiga tahun ke depan. Penerapan pasar karbon ini penting untuk mencegah perubahan iklim dan membuat bumi lebih nyaman. 

Salah satu sisi dalam pasar karbon ini adalah penerapan pajak karbon. Dengan adanya pajak karbon ini bisa meningkatkan pendapatan negara sekaligus menangani masalah lingkungan. 

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu membuka ruang penggunaan hasil penerimaan pajak karbon untuk belanja non-penanganan masalah lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Hasil penerimaan pajak karbon nantinya memiliki banyak manfaat dan saluran belanja. Opsi pertama adalah untuk penanggulangan dampak perubahan iklim.

"Pengenaan pajak karbon memiliki berbagai kemanfaatan, pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi," tulis bahan paparan BKF dikutip dari Belasing.id, Senin (14/11/2022).

Selain itu, penggunaan hasil pungutan pajak karbon setidaknya bisa dimanfaatkan pada 4 saluran alternatif belanja pemerintah.

Pertama, penggunaan pajak karbon untuk menambah dana pembangunan. Kedua, pajak karbon untuk belanja adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Ketiga, penggunaan hasil penerimaan pajak karbon untuk belanja pada investasi ramah lingkungan. Keempat, pajak karbon untuk menambah belanja bansos.

Penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pasar Karbon Indonesia Ditargetkan Aktif Mulai 2025

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menargetkan pasar karbon dan pajak karbon berlaku mulai 2025. Langkah ini setali dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan target karbon netral (net zero emission/NZE) pada 2060, atau lebih cepat.

"Salah satu yang dapat diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” kata Airlangga, Kamis (13/10/2022).

Di sektor energi, pemerintah terus melakukan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Upaya ini diharapkan bisa mendorong pengembangan green energy ataupun green industry.

Seiring dengan jumlah investor pasar modal yang meningkat, Airlangga berharap investasi berkelanjutan berbasis ESG juga dapat ditingkatkan. Menurut dia, investasi berkelanjutan perlu didorong oleh seluruh stakeholder, baik itu investor maupun dari korporasi.

Airlangga juga mengapresiasi langkah Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan SRO yang terus aktif dalam penerbitan investasi ataupun instrumen berbasis ESG, seperti green bond, reksa dana juga penerbitan indeks ESG. Bahkan OJK juga membuat roadmap tentang keuangan berkelanjutan berbasis taksonomi hijau Indonesia.

“Saya harap arah positif ini terus kita jaga dan bagi korporasi juga mempertimbangkan faktor ESG dan beberapa standar daripada pelaporan itu sudah dimintakan untuk memasukkan komponen ESG di dalamnya,” ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

OJK Siap Dukung Penyelenggaraan Bursa Karbon

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menyiapkan penyelenggaraan bursa karbon untuk mendukung inisiatif Pemerintah menetapkan harga karbon dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

"OJK bersama industri jasa keuangan siap mendukung inisiatif ini," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam seminar internasional “Carbon Trading: The Journey to Net Zero” sebagai rangkaian kegiatan peringatan 45 tahun diaktifkannya kembali Pasar Modal Indonesia di Jakarta, Selasa, 27 September 2022, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (29/9/2022).

Mahendra menuturkan, penetapan harga karbon yang diinisiasi oleh Pemerintah dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi dan disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari batas yang ditoleransi.

Mahendra juga mengatakan dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia bisa memiliki banyak keuntungan dari perdagangan emisi karbon global.

"Di sinilah Indonesia dapat melangkah dan memanfaatkan keunggulannya sebagai pemimpin untuk menggunakan inisiatif bursa karbon dalam memberikan alternatif pembiayaan bagi sektor riil,” ujar Mahendra.

Dia menuturkan, dengan hutan tropis seluas 125 juta hektar, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon, belum termasuk hutan bakau dan gambut, sehingga diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan senilai 565,9 miliar dolar AS dari perdagangan karbon. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.