Sukses

BI: Realisasi Pembelian SBN Skema Burden Sharing Capai Rp 183,48 Triliun

Bank Indonesia menginormasikan realisasi pembelian SBN dengan skema pembagian beban atau burden sharing

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat per 15 September 2020, realisasi pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan skema pembagian beban atau burden sharing II di pasar perdana sebanyak Rp 183,48 triliun.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan, realisasi pembelian SBN tersebut dengan mekanisme secara langsung. Sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 7 Juli 2020 atau skema burden sharing II.

"Posisi pada 15 September ini, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan public goods dalam APBN tahun 2020 melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung mencapai Rp 183,48 triliun," kata Perry dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI terkait Laporan Semester I Kinerja Bank Indonesia, di Komplek Parlemen, Senin (28/9).

Perry merinci, berdasarkan skema burden sharing II, disepakati pembiayaan untuk public good sebesar Rp 397,56 triliun. Kemudian pembiayan untuk non-public goods terkait UMKM disetujui sebesar Rp 177,03 triliun.

Adapun, realisasi pembagian beban dengan pemerintah untuk non-public goods terkait UMKM telah terserap Rp 44,38 triliun.

Oleh karena itu, sambung Perry, realisasi pembelian SBN ini menunjukkan komitmen BI dalam pembelian SBN.

"Sehingga pemerintah lebih fokus pada upaya akselerasi realisasi APBN untuk mendorong pemulihan perekonomian nasional," pungkasnya.

Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Skema Burden Sharing Dinilai Terlambat

Ekonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menilai realisasi keputusan burden sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah kadaluarsa.

Mengingat kebijakan penting ini baru diimplementasikan pada Agustus lalu, saat kondisi ekonomi Indonesia sudah terpuruk akibat pandemi Covid-19.

"Kesepakatan burden sharing itu terlambat karena baru sepakat di bulan Agustus. Artinya empat bulan Setelah Kita mengalami kasus covid. Empat bulan dalam hal ini sangat terlambat," jelas dia kepada Merdeka.com, Sabtu (12/9/2020).

Menurutnya burden sharing akan tepat dilakukan sejak pandemi Covid-19 mulai memasuki wilayah Indonesia pada Maret 2020. Sehingga dinilai bisa mengurangi beban bunga utang pemerintah.

"Sekarang itu yang dipermasalahkan, yang menjadi hambatan di Pemerintah adalah utang. Walaupun seharusnya tidak menjadi masalah. Karena adanya koordinasi yang kuat antara pemerintah dan bank sentral. Jika dari awal (burden sharing)," jelas dia.

Piter menambahkan, keterlambatan realisasi kebijakan burden sharing juga mengindikasikan ketidakmampuan para menteri dalam mengantisipasi dampak langsung dari pandemi Covid-19. "Artinya tidak punya sense of crisis dalam merespon dampak krisis," jelasnya.

Oleh karena itu, dia menilai wajar apabila Presiden Jokowi berulang kali marah atas kinerja buruk para pembantunnya di masa kedaruratan kesehatan ini.

"Dan itulah yang menjadi viral ya kemarahan Jokowi berapa waktu terakhir, yang menekankan para menterinya harus ada kemampuan sesnse of crisis yang sama," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.