Sukses

Menko Airlangga Prediksi Ekonomi Indonesia Minus 3 Persen di Kuartal III 2020

Pemerintah sudah tidak memikirkan lagi apakah Indonesia mengalami resesi atau tidak resesi.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2020 bakal berada di antara minus 1 persen sampai dengan 3 persen. Dengan pertumbuhan itu, maka Indonesia sudah bisa dipastikan masuk ke dalam resesi.

"Kalau di Kuartal ketiga ini diperkirakan dari minus 3 menjadi sampai minus 1 peren," kata dia dalam diskusi virtual bertajuk 'Anies Rem Darurat, Ekonomi Tercekat?', di Jakarta, Minggu (13/9/2020).

Airlangga menyebut dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah sudah tidak memikirkan lagi apakah Indonesia mengalami resesi atau tidak resesi. Sebab, di tengah kondisi ketidakpastian ini banyak negara-negara lain yang juga mengalami resesi ekonomi.

"Artinya kita tidak masalah resesi tidak resesi. Itu bahasanya we are bot alone. 215 negara mengalami resesi, tapi yang kita liat apakah negara itu sudah menemukan garis bottom line-nya?" kata dia.

Jika melihat beberapa negara-negara lain, justru banyak yang mengalami pertumbuhan negatif per kuartalnya meningkat dari kuartal I ke II. Misalnya saja India yang sudah minus sampai 20 dan Singapura minus 15 persen.

"Jadi kalau kita kita lihat pertumbuhan ekonomi dari minus 5 (kuartal III) itu bottom trennya kalah lebih tinggi lagi bisa ke arah minus 2 atau ke 1. Itu berada dalam tren yang baik kita push lagi dengan investasi dengan belanja sehingga kita keluar dari gangguan netral sampai akhir tahun," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ekonomi: Kalau Resesi Berkepanjangan Bisa Terjadi Depresi Ekonomi

Sebelumnya, Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan dampak nyata resesi ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat. Terlebih dia menilai kondisi tersebut sudah mulai terasa ketika pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.

"Kalau dampak paling besar atas potensi resesi. Yakni merosotnya daya beli, karena pendapatan masyarakat hilang atau terpangkas sehingga masyarakat tidak bisa konsumsi normal. Kan mulai ini terasa di kuartal II kemarin," ujar dia saat dihubungi Merdeka.com, Rabu (9/9/2020).

Menurutnya penurunan daya beli ini tercermin dari sejumlah indikator, khususnya Indeks Penjualan Riil (IPR) yang berada dalam tren negatif. Dimana pada Juni lalu, IPR mengalami minus 17,1 persen. Kendati membaik dari minus 20,6 persen pada Mei.

"Artinya selama kebijakan pelonggaran PSBB dilakukan, aktivitas ekonomi yang ada tidak seperti diharapkan oleh pemerintah. Imbasnya masyarakat secara umum daya belinya secara masih rendah," paparnya.

Kendati demikian, Eko tetap mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir akan potensi terjadinya resesi yang kian dekat. Mengingat dalam konteks resesi, akan banyak kebijakan untuk menstimulus perekonomian nasional ke arah positif.

"Masyarakat tidak perlu khawatir karena dalam konteks resesi itu ada peluang perbaikan ekonomi dari kebijakan yang ada. Baru kalau resesi kepanjangan kemudian masyarakat hati hati. Karena itu namanya depresi ekonomi," tegasnya.

Sehingga kebijakan pemerintah untuk percepatan proses pemulihan ekonomi akibat resesi ini sangat diperlukan. Terutama kebijakan terkait upaya penanganan pandemi Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia.

"Sebab, masyarakat pasti masih akan menahan konsumsi apabila pandemi ini masih bertambah. Karena mereka lebih melihat pada sisi ketidakpastian untuk melakukan investasi maupun berbagai aktivitas lainnya untuk menggerakkan roda perekonomian," imbuh dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.