Sukses

Jadi Negara Maju, Indonesia Tetap dapat Fasilitas GSP dari AS

Status Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP tidak terdampak.

Liputan6.com, Jakarta - US Trade Representative (USTR) memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dan negligible import volumes untuk pengenaan tarif anti-subsidi atau countervailing duty (CVD), pada 10 Februari 2020. Berdasarkan keputusan tersebut, Indonesia tidak lagi dimasukkan dalam daftar negara berkembang.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan Indonesia siap meningkatkan daya saing, khususnya untuk terus meningkatkan ekspor ke AS. Selain itu, status Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP tidak terdampak.

“Dikeluarkannya Indonesia dalam kategori negara berkembang tersebut, artinya daya saing produk Indonesia harus ditingkatkan agar kita terus dapat memenangkan pasar ekspor Indonesia. Sementara itu, perubahan kriteria negara berkembang yang ditetapkan USTR tersebut hanya berlaku dalam aturan pengenaan CVD dan tidak berdampak pada status Indonesia sebagai negara berkembang penerima fasilitas GSP," tegas Mendag Agus.

Menurut USTR, tiga kriteria baru yang diterapkan AS untuk negara berkembang dari pengecualian de minimis CVD, misalnya Argentina, Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Indonesia dikeluarkan dari pengecualian karena keanggotaan Indonesia dalam G-20 dan memiliki pangsa total perdgangan 0,9 persen.

Mendag Agus menambahkan, saat ini pemerintah Indonesia dan pemerintah AS masih terus mengadakan konsultasi terkait country review penerima program GSP. Status negara berkembang penerima fasilitas GSP sendiri diatur dalam statute yang berbeda dibawah Trade Act 1974.

“Indonesia saat ini tengah berkoordinasi erat dengan pihak AS untuk memastikan status Indonesia sebagai penerima GSP. Sejauh ini, perkembangan diskusi secara bilateral berlangsung cukup positif dan diharapkan AS dapat menginformasikan hasil review segera," kata dia.

"Jadi, pengaturan baru perubahan ketentuan CVD tersebut berbeda dengan penerapan status Indonesia sebagai negara penerima GSP,” tegas Mendag.

Total nilai perdagangan kedua negara di tahun 2019 adalah USD 26, 9 miliar dengan tren pertumbuhan 4,5 persen. Ekspor Indonesia ke AS di pada 2019 tercatat USD 17,7 miliar. Indonesia surplus sekitar USD 9,2 miliar.

 

Reporter : Helena Yupita

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Keluar dari Daftar Negara Berkembang, Indonesia Sudah Layak Jadi Negara Maju?

Amerika Serikat (AS) menghapus Indonesia dari daftar negara berkembang, bersama beberapa negara lain seperti China, India dan Afrika Selatan.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai keputusan AS ini lebih bersifat politis. Serta berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif atau buruk ke depannya bagi Indonesia.

“Dalam konteks ini saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata dia seperti mengutip Antara, Senin (24/2/2020).

Fithra mengatakan ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju. Mulai dari sektor industri yang harus mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) minimal 30 persen.

“Kalau dilihat dari ukuran negara maju Indonesia belum masuk ke sana karena negara maju adalah negara yang berkontribusi industrinya terhadap GDP sudah 30 persen ke atas,” kata dia.

Ia menyebutkan meskipun saat ini industri di negara-negara maju kontribusinya terhadap GDP turun, namun negara tersebut telah melewati tahapan sebagai negara industri sehingga dapat dikategorikan sebagai negara maju.

“Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri terhadap GDP turun tetapi mereka sudah melewati tahapan sebagai negara industri,” katanya.

Berikutnya, ketentuan yang dapat mengkategorikan sebuah negara menjadi maju adalah melalui pendapatan per kapita yang harus di atas USD 12 ribu per tahun. Sedangkan Indonesia baru sekitar USD 4.000 AS per tahun.

“Hal yang bisa kita lihat lainnya adalah income per kapita yang kalau negara maju itu adalah di atas USD 12 ribu per tahun di mana kita di bawah USD 4 ribu per tahun,” ujarnya.

Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) juga menjadi salah satu tolak ukur yaitu semakin tinggi IPM maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat di negara tersebut.

“Ditambah lagi dengan HDI kalau sudah di atas 0,85 HDI nya itu sudah menjadi negara maju tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju,” katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.