Sukses

Perang Dagang, China Lebih Unggul dari AS

Jajak pendapat terakhir mengindikasikan penurunan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah terutama di bidang ekonomi, bidang yang selama ini dianggap sebagai keunggulan presiden Trump.

Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang sudah berlangsung hampir dua tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

CFA Senior Portofolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Samuel Kesuma memandang ada kondisi berbeda di tahun kedua perang dagang.

"Kami melihat perubahan dalam dinamika bilateral telah terjadi. Dapat dikatakan saat ini pemerintah China berada dalam posisi tawar yang lebih unggul untuk memutuskan arah dan persyaratan perdagangan," kata dia, dalam keterangan kepada Merdeka.com, Senin (14/10/2019).

Kondisi AS saat ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan ketika pertama kali pertikaian dagang muncul di 2018. Saat itu AS terlihat lebih mendominasi dengan ekonomi yang lebih kuat dan pasar keuangan yang lebih solid.

Saat ini perekonomian AS mulai melambat, pasar keuangan melemah, tekanan terhadap presiden Trump meningkat mendekati pemilu 2020 dan ruang penambahan tarif juga lebih terbatas.

"Selama ini presiden Trump terus menyatakan keunggulan dan kekuatan posisi dalam negosiasi konflik dagang, faktanya beberapa sektor ekonomi di AS mengalami tekanan," ujar dia.

Sektor-sektor ekonomi AS yang tertekan, kata dia, seperti ekspor yang turun bagi ke China maupun ke negara lain, kontraksi pada sektor manufaktur, serta melambatnya penyerapan tenaga kerja. Indikator-indikator tersebut cukup vital mempengaruhi PDB AS di semester pertama 2020 yang merupakan periode krusial kampanye pemilu.

Jajak pendapat terakhir mengindikasikan penurunan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah terutama di bidang ekonomi, bidang yang selama ini dianggap sebagai keunggulan presiden Trump. "Data terkini menunjukkan 58 persen masyarakat AS memandang eskalasi konflik dagang dengan China merupakan kebijakan yang buruk bagi AS. Kondisi ini dapat ‘menekan’ pemerintah untuk lebih melunak dalam negosiasi dengan China dan membuka kemungkinan adanya persetujuan sementara," jelas dia.

Terkait suku bunga The Fed, pihaknya memprediksi masih ada pemangkasan suku bunga Fed 50 basis poin dalam enam bulan ke depan, dan kemungkinan peluncuran stimulus lebih lanjut. Kebijakan moneter akan digunakan untuk mengimbangi efek negatif resesi manufaktur global, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dari kebijakan moneter ketat 2018, dan ‘guncangan’ yang ditimbulkan oleh konflik dagang.

"Kami memperkirakan bahwa sebagian besar bank sentral global akan mempertahankan suku bunga rendah dan menghindari kenaikan suku bunga setidaknya selama dua tahun ke depan, sebagai usaha untuk mendorong inflasi menuju atau bahkan lebih tinggi dari target yang ditentukan," ujarnya.

Lantas bagaimana dampak eskalasi perang dagang terhadap kinerja ekonomi domestik?

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indonesia Terdampak

Menurut Samuel, jika ekonomi dunia melemah, permintaan komoditas secara global akan berkurang. Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas tentu akan terkena dampaknya, dan pada akhirnya perekonomian Indonesia juga ikut melemah.

"Data aktivitas domestik, penjualan mobil, semen, properti dan sektor manufaktur terlihat mengalami perlambatan, walaupun memang penyebab perlambatan tersebut bukan disebabkan faktor eksternal saja, namun ada juga peranan faktor internal," paparnya.

Dia memandang langkah pemerintah terus melakukan berbagai upaya pembangunan hard dan soft infrastructure sudah tepat. Tujuannya adalah peningkatan kualitas SDM dan pertumbuhan ekonomi guna meningkatkan daya tarik dan daya saing Indonesia di antara negara kawasan, lewat meningkatnya investasi dan mengurangi ketergantungan akan ekspor komoditas mentah.

Ke depannya, lanjut dia, kebijakan moneter masih akan tetap akomodatif. Kebijakan moneter akomodatif ini dapat menjadi ‘bantalan’ bagi ekonomi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global. Ruang pemangkasan suku bunga lebih lanjut terlihat dari suku bunga riil Indonesia yang masih kompetitif jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia yang memiliki defisit neraca berjalan, seperti India dan Filipina.

"Inflasi, defisit pada neraca berjalan dan prospek pertumbuhan ekonomi akan menjadi faktor pertimbangan penting dalam pemangkasan suku bunga lebih lanjut," imbuh dia.

 

3 dari 3 halaman

Insentif Fiskal

Sementara dari sisi fiskal, pemerintah sudah memformulasi beberapa insentif fiskal dalam bentuk perpajakan. Hal tersebut diharapkan dapat menahan dampak negatif perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, sekaligus mengakselerasi pemulihan perekonomian domestik.

"Rencananya pemerintah akan menurunkan pajak pendapatan korporasi dari level saat ini 25 persen menjadi 22 persen di 2021 dan 20 persen di 2023 guna meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia. Pemerintah juga berencana untuk mengubah ambang batas pajak penghasilan individu, yang dapat meningkatkan disposable income dan diharapkan dapat mendorong daya beli masyarakat," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.