Sukses

Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Tak Bisa Perpanjang SIM, Ini Kata YLKI

Rencana sanksi tersebut tidak akan efektif membuat efek jera, sebab tidak semua orang Memiliki SIM dan paspor.

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana pemberian sanksi untuk penunggak iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, berapa tidak bisa memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) dan paspor dinilain kurang tepat.

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, rencana sanksi penunggak iuran BPJS Kesehatan tersebut tidak akan efektif membuat efek jera, sebab tidak semua orang Memiliki SIM dan paspor.

"YLKI melihat itu enggak akan efektif karena paspor dan SIM nggak semua bikin. Kan perpanjang paspor dan SIM itu juga setiap 5 Tahun sekali," kata Sudaryatmo, saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta.

Menurut Sudaryatmo, jika sanksi tersebut diterapkan akan menimbulkan persoalan baru, sebab masyarakat akan sulit mendapat layanan dan mengurangi Pendapatan negara.

"Itu menimbulkan persoalan baru ketika orang bayar pajak tidak bisa dapat layanan," ujarnya.

Sudaryatmo mengungkapkan, untuk sanksi yang diberikan BPJS Kesehatan bisa berupa menghentikan layanan BPJS Kesehatan bagi penunggak iuran, Selain itu perlu dievaluasi kembali penyebab penunggakan iuran.

Dilihat lagi, apakah dia mampu tidak mau bayar iuran atau tidak mampu. kalau tidak mampu dialihakan pembayaran iuran ke jaminan kesehatan. Kalau mampu upaya BPJS-nya lebih tegas menagih," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Bisa Perpanjang SIM hingga IMB Sanksi Bagi Penunggak BPJS Kesehatan

Pemerintah tengah menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberi sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan. Masyarakat yang menunggak iuran akan kena konsekuensi saat membutuhkan pelayanan perpanjangan SIM, pembuatan paspor, IMB dan lainnya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan automasi sanksi layanan publik dimaksudkan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

"Inpresnya sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik. Selama ini sanksi ada tapi hanya tekstual tanpa eksekusi, karena itu bukan wewenangnya BPJS," kata Fachmi, seperti mengutip Antara, seperti dikutip Kamis (10/10/2019).

Dengan regulasi melalui instruksi presiden ini, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.

Sehingga apabila ada seseorang yang ingin mengakses layanan publik seperti memperpanjang SIM namun masih menunggak iuran, sistem yang terintegrasi secara daring tidak bisa menerima permintaan tersebut.

Sanksi layanan publik tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Dalam regulasi itu mengatur mengenai sanksi tidak bisa mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) bila menunggak membayar iuran BPJS Kesehatan.

Namun Fachmi menyampaikan bahwa sanksi tersebut tidak ada satu pun yang pernah dilaksanakan karena institusi terkait yang memiliki wewenang. Hasilnya, tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri atau PBPU yang berjumlah 32 juta jiwa hanya sekitar 50 persen.

3 dari 3 halaman

Sontek Korea

Fachmi menekankan pentingnya sanksi bagi peserta yang tidak mau membayar iuran. Dia mengambil contoh jaminan sosial negara lain seperti Korea Selatan yang sebelumnya kolektabilitas hanya 25 persen menjadi 90 persen ketika menerapkan sanksi untuk kolektabilitas.

Di Korea Selatan, pemerintah diberikan wewenang untuk mengakses rekening peserta jaminan sosial dan langsung menarik besaran iuran dari dana pribadi bila orang itu mampu membayar.

Contoh lainnya, di salah satu negara Eropa, kepatuhan membayar iuran jaminan sosial menjadi syarat untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi.

Saat ini BPJS Kesehatan juga telah menerapkan sistem autodebet bagi peserta yang baru mendaftar. Akun bank peserta secara otomatis akan berkurang jumlahnya untuk dibayarkan iuran kepada BPJS Kesehatan.

Namun sistem autodebet tersebut masih memungkinkan gagal apabila peserta sengaja tidak menyimpan uang pada nomor rekening yang didaftarkan lalu membuka akun bank baru. Oleh karena itu Fachmi berharap pada regulasi mengenai automasi sanksi akan meningkatkan kepatuhan dan kepedulian masyarakat dalam membayar iuran.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.