Sukses

Tuntut UMP 2019 Naik 25 Persen, Begini Hitung-hitungan Buruh

Buruh menuntut pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 sebesar 20-25 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2019 sebesar 20-25 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari ketetapan pemerintah yang sebesar 8,03 persen.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, pihaknya tidak sembarang dalam menuntut kenaikan UMP 2019 hingga 25 persen. Kenaikan sebesar ini didasarkan atas hasil survei yang memperhitungkan kebutuhan hidup layak (KHL) sebanyak 62 item, khususnya di wilayah DKI Jakarta.

"Kita mengakumulasi secara independen melakukan survei harga di pasar. Kita gunakan pembanding dengan KHL 62 item yang selama ini berlaku dan KHL 84 item yang sudah kami usulkan. Dari situ kita dapat angkanya. Tetapi yang kita pakai yang 62 item dulu, karena yang 84 belum resmi, masih usulan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (19/10/2018).

Dari survei KHL ini, lanjut Said, seharusnya upah minimum di Ibu Kota sudah sebesar Rp 4,3 juta. Angka ini naik Rp 700 ribu atau 20 persen dari UMP 2018 yang sebesar Rp 3,6 juta.

"Dari 62 item itu tetapi kualitasnya kita perbaiki. Contohnya selama ini masih menggunakan (perhitungan) radio, bukan televisi. Harusnya televisi dong. Kemudian sewa rumah kita biasa gunakan standar sewa rumah pekerja di Jakarta. Hasilnya, standar KHL-nya di Jakarta seharusnya Rp 4,3 juta. Maka kita perkirakan naik sekitar 20 persen. Kalau 20 persen dari Rp 3,6 juta, maka bisa Rp 700 ribuan," jelas dia.

Oleh sebab itu, kata Said, pihaknya meminta pemerintah untuk menaikkan UMP hingga 25 persen. Sebab, hal ini didasarkan pada realita kebutuhan hidup buruh.

"Jadi tidak tiba-tiba. Ini hasil survei pasar dengan menggunakan KHL 62 item. Supaya mendekati 84 item, kita perbaiki kualitasnya sesuai dengan realita kehidupan di Jakarta saat ini," tandas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengusaha menolak

Pengusaha meminta serikat buruh untuk tidak menuntut kenaikan UMP 2019 terlalu besar. Hal ini menanggapi tuntutan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang meminta pemerintah menaikkan UMP 2019 hingga 25 persen.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, kenaikan UMP sebesar 25 persen dinilai melebihi kemampuan pengusaha. Terlebih di dalam kondisi ekonomi seperti saat ini.

"Dalam penetapan UMP 2019 kami sangat berharap kepada Serikat Pekerja agar jangan menuntut terlalu berlebihan di luar kemampuan dunia usaha," ujar dia di Jakarta, Kamis (18/10/2018).

Menurut dia, serikat buruh juga tidak bisa menuntut kenaikan upah seenaknya. Sebab, pemerintah telah mengeluarkan aturan terkait penetapan upah minimum setiap tahunnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

"PP Nomor 78 Tahun 2015 ini sebenarnya sudah sangat adil dan memberikan kepastian bagi pengusaha dan pekerja. Komitmen pengusaha jelas untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja setiap tahun melalui kenaikan UMP sesuai kemampuan yang dimiliki. Sedangkan bagi pekerja ada jaminan bahwa UMP akan naik setiap tahun," jelas dia.

Selain itu, lanjut Sarman, sebenarnya UMP 2019 diperuntukkan bagi para calon pekerja. Sedangkan pekerja yang sudah lama bekerja harusnya mendapatkan gaji di atas batas minimum tersebut.

"UMP ini sebenarnya titik beratnya kepada calon pekerja yang akan memasuki dunia kerja tahun depan. Karena UMP adalah jaring pengaman sosial yang diperuntukkan kepada orang yang baru pertama kerja, nol pengalaman dan masih bujangan sehingga pekerja yang yang baru memasuki dunia kerja tidak digaji di bawah kebutuhannya," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini