Sukses

‎Penerimaan Negara Kurang Rp 120 Triliun, Apa Pilihan Pemerintah?

DPR tidak akan memberi pengampunan pidana umum atau di luar pajak bagi para koruptor yang sudah dijerat kasus pada tingkat P-21.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI meminta kepada pemerintah untuk segera melaksanakan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Alasannya, kebijakan ini merupakan jalan keluar paling instan untuk mengejar target penerimaan pajak Rp 1.224 triliun pada tahun ini.

"Tax amnesty harus diimplementasikan tahun ini. ‎Karena penerimaan pajak yang terealisasi baru 53 persen sampai sekarang, padahal tinggal 3 bulan lagi. Jadi tax amnesty jadi salah satu alternatif saat terbatasnya waktu. Masa kita mau utang lagi untuk nambal shortfall," jelas Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar), Misbakhun, saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/10/2015).

Di luar itu, masih ada  potensi shortfall yang diperkirakan Rp 120 triliun. ‎Lebih jauh dijelaskan Misbakhun, Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Nasional merupakan Pengampunan Pajak atau tax amnesty. Dia menegaskan bahwa, DPR tidak akan memberi pengampunan pidana umum atau di luar pajak bagi para koruptor yang sudah dijerat kasus pada tingkat P-21.

"Kami tidak ingin memberikan pengampunan pidana umum buat koruptor yang ‎sudah P-21, tidak bisa ikut tax amnesty. Jadi tidak benar yang mengatakan kalau DPR setuju mengampuni kejahatan korupsi atas sanksi pidana di luar pajak," kata dia.

Misbakhun menargetkan, separuh dana orang Indonesia yang terparkir di luar negeri dengan perkiraan nilai mencapai Rp 4.000 triliun bisa ditarik ke perbankan dalam negeri. Itu artinya ada potensi sebanyak Rp 2.000 triliun masuk ke bank nasional‎ dalam waktu dekat.

"Kalau Rp 2.000 triliun masuk ke Indonesia dan dipungut tarif PPH Final 3 persen-5 persen, kita bisa mengejar target penerimaan negara. Kita juga harus memberikan tarif pajak rendah, supaya orang tertarik memarkir uangnya di Indonesia, bukan di luar negeri. Kan kita harus bersaing dengan negara lain," terangnya.

Dia bilang, sudah saatnya uang ribuan triliun milik orang Indonesia yang selama ini mengendap di luar negeri dipindahkan ke negara asalnya. Sebab, uang tersebut berasal dari kegiatan bisnis di Indonesia, sementara yang menikmati hasilnya bangsa lain dengan setoran pajak dari uang tersebut.

"Supaya orang berkeinginan melakukan repatriasi modal, dan masuk ke dalam sistem keuangan kita. Itu kan uang yang berasal dari Indonesia, mengeruk kekayaan kita, berdagang dan berbisnis di sini, tapi disimpan di luar negeri. Jadi harus dikembalikan ke kita, agar pajaknya bisa digunakan membiayai pembangunan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya," tandas Misbakhun. 

Sebelumnya pemerintah juga menegaskan bahwa rencana penerapan pengampunan pajak tidak akan menghilangkan sanksi pidana bagi koruptor meski aliran uang haram diparkir dari perbankan luar negeri ke dalam negeri. Tax amnesty dijalankan seiring berakhirnya era kerahasiaan bank untuk kepentingan pajak pada 2018.

Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi mengatakan, pengampunan pajak perlu diimplementasikan dalam rangka ekstensifikasi pajak. Kebijakan kontroversial ini diharapkan segera berlaku secepatnya agar pemerintah mampu mengejar penerimaan pajak 2015.

"Lebih cepat lebih baik, karena income pemerintah akan bertambah. Karena sebenarnya banyak pengusaha berminat menaruh dananya di perbankan Indonesia," ucap dia.

Ia menilai, birokrasi perpajakan di Indonesia wajib dibenahi untuk menyongsong era berakhirnya kerahasiaan bank dua tahun mendatang. Mengintip dokumen rahasia bank ini dibuka demi kepentingan pajak, sehingga tak ada lagi siapapun yang bisa menyembunyikan uang maupun hartanya di bank luar negeri untuk menghindari atau penggelapan pajak.

"Semua yang tidak bayar pajak sekarang harus bayar. Mereka juga tidak bisa lagi sembunyi-sembunyi ke luar negeri, karena seluruh negara sudah membuka data kerahasiaan bank pada 2018. Jadi ini kesempatan buat pengusaha memanfaatkan tax amnesty untuk bayar pajak," terang dia.

Sofjan menegaskan, pelaku kejahatan memakan uang rakyat atau koruptor, terorisme, narkoba dan perdagangan manusia tidak akan lepas dari jerat sanksi pidana. Inilah yang menjadi kisruh dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Nasional seperti pidana pajak dan pidana lain. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.