Keberadaan EBT Terus Dipacu, Transisi Energi Disebut Merupakan Sebuah Keniscayaan

Pengembangan EBT di Indonesia membutuhkan insentif dari pemerintah agar dapat bersaing dengan sumber energi fosil.

oleh Nurmayanti diperbarui 12 Apr 2021, 19:58 WIB
Pekerja melakukan pengecekan panel surya di atas gedung di kawasan Jakarta, Senin (31/8/2020). Pemerintah tengah menyiapkan peraturan presiden terkait energi baru terbarukan dan konservasi energi agar target 23 persen bauran energi di Indonesia bisa tercapai pada 2045. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan pelaku industri terus menggenjot keberadaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Sumber energi ini pun dinilai merupakan sebuah keniscayaan.

Namun, akselerasi pengembangan EBT di Indonesia membutuhkan insentif dari pemerintah agar dapat bersaing dengan sumber energi fosil.

Indonesia menargetkan mencapai bauran EBT sebesar 23 persen hingga 2025 dan hingga 2020 realisasi bauran EBT hanya sebesar 11,2 persen atau 10,6 GW, sementara itu target 2025 sebesar 24 GW 2025.

Ketua Umum Kadin, Rosan P Roeslani mengatakan biaya pembangkitan EBT terus turun dari tahun ke tahun. Ditambah lagi potensi EBT di Indonesia sangat besar, seperti panas bumi, angin dan air.

“Transisi energi merupakan sebuah keniscayaan, namun dibutuhkan insentif dari pemerintah,” kata Rosan pada webinar Energy and Mining Editor Society (E2S) bertema "Collaboration to Accelerate Investment, Innovation and Technology in the Energy and Mineral Resources Sector, Senin (12/4/2021).

Dia juga mengatakan pemerintah berusaha secara bertahap menekan defisit migas dengan melakukan bauran energi dari batu bara ke EBT. Apalagi EBT akan melampaui energi fosil pada 2050.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Ego Syahrial mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif, mengatakan pemerintah terus mendorong pengembangan EBT.

“Saat ini masih disiapkan rancangan Perpres pembelian tenaga listrik EBT,” kata Ego.

 

Saksikan Video Ini

2 dari 2 halaman

EBT Kurang Bersaing

Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 membuat peluang investari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) semakin terbuka lebar.

Menteri ESDM Periode 2000 – 2009, Purnomo Yusgiantoro, menyatakan transisi energi terkait erat dengan dua faktor, yaitu teknologi dan keekonomian.

Dia mengindikasikan biaya pembangkitan EBT masih kurang bersaing dibanding biaya pembangkitan energi batubara, terutama di wilayah Jawa.

“Transisi energi membutuhkan bridging fuel, contohnya gas dan batubara yang menggunakan teknologi ramah lingkungan,” kata Purnomo.

Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Martiono Hadianto, mengatakan perlunya kolaborasi antarsektor mulai dari sumber daya, pendidikan, perindustrian, perdagangan. "Pendidikan menjadi akar dari penguasaan teknologi dan inovasi," katanya.

Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa, menyoroti soal target bauran energi 23 persen pada 2025. Padahal realisasi hingga 2020 hanya 11,2 persen.

"Saya perkirakan capaian pada 2025 maksimal tambahannya delapan persen jadi realistisnya 19-20 persen," kata Iwa.

Sejumlah pelaku industri berbasis batubara sudah mulai menjajaki potensi EBT. Contohnya PT Indika Energy Tbk, yang mempunyai visi mencatatkan 50 persen pendapatan dari non-batubara pada 2025.

PT Indika Energy Tbk. membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco), di Paser, Kalimantan Timur.

“Aspek keekonomian EBT dan teknologi baterai semakin murah setiap tahun, hal ini dapat mengakselerasi pengembangan EBT,” kata Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika Energy. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya