YLKI: Penyederhanaan Pajak Penjualan Pulsa Bagus, tapi Kurang Transparan

YLKI menilai kehadiran PMK soal pajak pulsa hingga token listrik tersebut tujuannya memang bagus yakni untuk melakukan sesuatu penyederhanaan

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Jan 2021, 21:19 WIB
Ilustrasi pulsa gratis. Dok: androidauthority.com

Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Pengaduan dan hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi menilai kehadiran PMK Nomor 6 tahun 2020 tentang pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer menimbulkan suatu permasalahan di lapangan. Sebab, komunikasi yang dibangun kepada masyarakat sendiri terbilang kurang.

"Memang dengan adanya PMK Ini menimbulkan suatu permasalahan di lapangan karena yang saya dapatkan dalam hal ini adalah bagaimana komunikasi publik itu dibangun sebenarnya," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (31/1/2021).

Dia mengakui, kehadiran PMK tersebut tujuannya memang bagus yakni untuk melakukan sesuatu penyederhanaan di dalam pemungutan PPN dan PPh. Namun yang menjadi masalah lebih kepada bagaimana terkait dengan pungutan vocher perdana.

"Kalau untuk token kita sudah jelas rantainya itu adalah sangat pendek, kemudian voucher rantai pendek, kemudian yang jadi masalah adalah bagaimana terkait dengan penjualan pulsa telekomunikasi dan kartu perdana yang levelnya itu jenjang-jenjang itu sangat luar biasa nah ini yang konsumen dapatkan," kata dia.

Dia melanjutkan, dengan adanya masalah ini, justru dapat membuka mata bahwa memang benar selama pungutan PPh dan PPN sudah dikenakan atas ketiga jasa tersebut.

Hanya saja yang perlu ditekankankan ke depan adalah bagaimana transparansi informasi daripada penyelenggara jasa tersebut kepada masyarakat.

"Misalnya ketika kita membeli voucher Rp 100 ribu sebenarnya yang diterima konsumen itu berapa sih? pulsa berapa sih? token yang diterima konsumen apa saja biaya-biaya yang ada di dalamnya. Ini yang sebenarnya menjadi perhatian kita menjadi tugas juga kepada dari penyelenggara jasa maupun dari pajak Ini kesempatan ini memang sangat baik sekali," tandas dia.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Stafsus Sri Mulyani: Pungutan Pajak Pulsa Sudah Ada Sejak Era Soeharto

Jualan Pulsa (sumber: iStockphoto)

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menyebut pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer bukan sesuatu yang baru. Sebab, kebijakan ini sudah diatur sejak era Presiden Soeharto.

"Sejak kapan pulsa terutang pajak? Sejak 1984 atau sekurang-kurangnya sejak 1988. Kenapa kita baru ribut sekarang? Ya selama ini enggak berasa kalau sudah dipungut pajak. Berarti pajak bukan beban berat bagi pengguna jasa telekomunikasi," tulis Yustinus melalui akun Twitter @prastow seperti dikutip pada Minggu (31/1/2021).

PPN dan PPh dalam industri telekomunikasi yang dimaksud adalah PP Nomor 28 Tahun 1988 yang ditegaskan dengan SE-48/PJ.31988 tentang Pengenaan PPN Jasa Telekomunikasi.

Dengan aturan itu, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucer pulsa dan pulsa elektrik telah dikenai pajak.

"Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yang biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara," kata dia.

Dia menambahkan, kehadiran PMK 6/2021 ini intinya bakal memberi kepastian status pulsa sebagai barang kena pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa. Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.

"Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tdk dibebani pajak tambahan," jelasnya.

Sementara itu, terkait dengan PPh Pasal 22, yang dikenakan 0,5 persen dirinya memberikan perumpamaan. Misalnya, PPh 0,5 persen ilustrasinya Rp500 perak dari voucer pulsa Rp100 ribu. Ini dipungut tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun, ibarat cicilan pajak.

"Bagi yang sudah WP UMKM dan punya Surat Keterangan, tinggal tunjukin dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan?" jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya