Kinerja 6 BUMN Besar Ambruk Akibat Pandemi Covid-19, Ini Rinciannya

Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah merilis laporan keuangan pada semester I 2020.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 25 Agu 2020, 19:00 WIB
Gedung Kementerian BUMN (dok: Humas KBUMN)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah merilis laporan keuangan pada semester I 2020. Banyak di antaranya yang secara kinerja anjlok akibat hantaman pandemi Covid-19, bahkan hingga berbuntut kerugian triliunan rupiah.

Menteri BUMN Erick Thohir sempat menyebutkan, hanya 10 persen perusahaan pelat merah saja yang masih bisa bertahan akibat pandemi ini.

"Sekarang 90 persen bisnis yang ada di BUMN kena Covid-19. Hanya ada 10 persen (yang tidak terdampak)," kata Erick Thohir, seperti dikutip Selasa (25/8/2020).

Liputan6.com coba merangkum 6 perusahaan BUMN besar yang kinerja bisnisnya terganggu selama wabah virus corona. Sebanyak 4 di antaranya bahkan harus rela menelan kerugian besar.

Siapa saja perusahaan BUMN tersebut?

Hutama Karya

PT Hutama Karya (Persero) mencatatkan penurunan tajam pada kinerja keuangan di semester I 2020. Laba bersih perseroan tergerus 95,83 persen, turun dari Rp 1,10 triliun pada semester I 2019 menjadi Rp 46,13 miliar.

Terpuruknya laba bersih Hutama Karya salah satunya dipicu pembengkakan biaya keuangan, yakni dari Rp 148,90 miliar di semester I 2019 menjadi Rp 992,03 miliar pada 6 bulan pertama tahun ini.

Liabilitas atau utang perseroan secara tahunan atau year on year (yoy) juga membesar 20,70 persen menjadi Rp 82,90 triliun.

Di sisi lain, pendapatan BUMN di sektor infrastruktur ini masih menguat tipis, dari Rp 7,75 triliun di semester I 2019 menjadi Rp 7,78 triliun di semester I 2020. Beban pokok pendapatan juga meningkat dari Rp 6,44 triliun menjadi Rp 6,58 triliun.

PLN

PT PLN (Persero) mengantongi laba bersih Rp 251,6 miliar di sepanjang semester I 2020. Jumlah tersebut terkikis 96 persen dari periode serupa tahun sebelumnya yang sebesar Rp 7,3 triliun.

Penurunan laba bersih itu terjadi lantaran rugi selisih kurs atau nilai tukar sebesar Rp 7,79 triliun. Padahal sebelumnya, perusahaan berhasil memperoleh laba selisih kurs Rp 5,03 triliun.

Sementara itu, PLN masih mencatatkan pendapatan dari penjualan listrik yang naik 1,5 persen (Rp 1,96 triliun) menjadi Rp 135,41 triliun. Itu berkat tarif tenaga listrik yang tidak berubah sejak 2017.

Secara keseluruhan, PLN pada semester I 2020 membukukan pendapatan usaha Rp 139,78 triliun, meningkat 1,6 persen dibandingkan semester I 2019. EBITDA perusahaan tercatat senilai Rp 35,29 triliun dengan EBITDA Margin 21,4 persen.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II

Suasana Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (10/6/2020). PT Angkasa Pura II selaku pengelola juga menerapkan prosedur physical distancing. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kedua perusahaan kembar di bidang penerbangan ini kompak merugi di paruh pertama tahun ini. Sepanjang semester I 2020, PT Angkasa Pura I tergatat merugi Rp 1,16 triliun.

Angka tersebut berbanding terbalik dengan periode serupa tahun sebelumnya, yang masih membukukan laba bersih Rp 719,27 miliar.

Menurut laporan keuangan yang dirilis PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Angkasa Pura I mengalami penurunan beban usaha 3,2 persen menjadi Rp 2,73 triliun.

Senasib, Angkasa Pura II juga merugi Rp 838,26 miliar pada semester I 2020. Pencapaian tersebut bertolak belakang jika dibandingkan pada semester I 2019, yang masih mencetak laba bersih Rp 363,17 miliar.

Garuda Indonesia

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami kerugian fatal di semester I 2020, yakni sebesar USD 712,73 juta atau setara Rp 10,40 triliun (kurs Rp 14.600 per dolar AS). Kondisi ini berbanding terbalik pada semester yang sama tahun lalu, dimana maskapai masih memperoleh untung USD 24,11 juta.

Anjloknya laba bersih tersebut sejalan dengan turunnya pendapatan usaha untuk penerbangan berjadwal dan tak berjadwal, yakni dari USD 2,19 miliar di semester di 2019 menjadi USD 917,28 juta pada semester pertama tahun ini.

Utang perusahaan juga membengkak dari USD 3,74 miliar di paruh pertama 2019 menjadi USD 10,37 miliar di semester I 2020. Sementara arus kas Garuda Indonesia juga terpangkas hingga 48,6 persen menjadi USD 165,41 juta.

 

3 dari 3 halaman

Pertamina

Maskot Asian Games 2018, Bhin-Bhin terpampang di video mapping atau layar bergerak di Gedung Utama Pertamina, Jakarta, Kamis (5/7). (Liputan6.com/Arya Manggala)

Catatan utang terbesar ditorehkan PT Pertamina (Persero) yang mengalami rugi bersih USD 767,92 juta, atau sekitar Rp 11,28 triliun pada semester I 2020. Angka ini berbeda jauh dengan Raihan laba bersih USD 659,96 juta pada semester I 2019.

Kerugian besar di paruh pertama tahun ini terjadi lantaran total penjualan dan pendapatan usaha lainnya ambles 24,7 persen, yakni dari USD 25,54 miliar menjadi USD 20,48 miliar.

Pendapatan perseroan semakin berkurang akibat pemerintah yang mengurangi setoran penggantian biaya subsidi ke Pertamina, dari sebelumnya USD 2,5 miliar menjadi USD 1,73 miliar.

Pertamina juga mengalami kerugian kurs USD 211,83 juta, yang berbanding terbalik jika dibandingkan dengan selisih kurs tahun lalu yang untung USD 64,59 juta.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya