Satu Kata dari Sultan HB X soal Rekonsiliasi

Ia datang dan duduk di baris paling depan bersama dengan para menantu laki-laki dan seorang cucu laki-lakinya.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 06 Jun 2019, 04:00 WIB
Sultan HB X mengikuti salat Idul Fitri 1440 H di Alun-Alun Utara Yogyakarta (Liputan6.com /Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta Seperti tahun-tahun sebelumnya, Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan HB X mengikuti salat Idul Fitri di Alun-Alun Utara Yogyakarta, Rabu (5/6/2019). Ia datang  dan duduk di baris paling depan bersama dengan para menantu laki-laki dan seorang cucu laki-lakinya.

Seusai salat, Sultan HB X beranjak dari Alun-Alun Utara. Ia juga mengucapkan selamat bagi warga masyarakat Muslim yang telah menyelesaikan puasanya.

"Semoga semakin bertakwa," ujar Sultan HB X. Ia juga tidak lupa mengucapkan selamat Idul Fitri.

Saat dimintai tanggapan terkait kondisi politik Indonesia saat ini, Sultan HB X tidak banyak berkomentar. Ia menjawab pertanyaan dari jurnalis yang menanyakan perihal rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo dengan satu kata.

"Semoga," kata Sultan HB X.

Salat Idul Fitri di Alun-Alun Utara dipimpin oleh khotib dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Achmad Jainuri. Dalam ceramahnya ia mengambil tema Refleksi Nilai Fitrah dalam Tahun Politik.

Pemahaman tentang makna fitrah telah ditegaskan dalam ajaran Islam bahwa semua orang itu baik sebelum ia terbukti bersalah.

"Yang Alhamdulilah telah menjadi dasar sistem hukum kita tentang praduga tidak bersalah," tuturnya.

Di depan Sultan HB X dan jamaah lainnya, ia menegaskan sikap saling percaya di antara semua komponen penyelenggara pemilu sangat penting untuk ditegakkan. Sikap saling percaya akan menghilangkan kecurigaan, fitnah, black campaign, politik uang, sedekah politik, dan berbagai bentuk manipulasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemilu.

 

2 dari 2 halaman

Penyimpangan Sunah Politik

Sultan HB X mengikuti salat Idul Fitri 1440 H di Alun-Alun Utara Yogyakarta (Liputan6.com /Switzy Sabandar)

Jainuri juga memaparkan konsep bernegara yang diletakkan oleh Rasulullah Muhammad SAW menjadi acuan penting bagi siapa saja yang ingin menegakkan sistem politik negara dan pemerintahan. Setelah beliau wafat pada 632, warisan berharga ini dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidun, Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib sampai 661.

"Keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpin dilakukan pada masa sahabat ini, meskipun masing-masing khalifah menggunakan cara yang berbeda," ucapnya.

Namun, umat Muslim setelah nabi dan Khulafaurrasyidun ternyata belum siap menerima dan proses sukses kepemimpinan kembali ke zaman sebelum Islam. Ada penyimpangan sunah politik yang telah ditegakkan oleh Rasulullah sejak 661 sampai sekarang.

Menurut Jainuri, apabila umat Muslim sekarang diminta merumuskan konsep sebuah negara, penelusurannya harus merujuk pada era sebelum 661. Sebab, sejak 661 sampai sekarang tidak ada contoh konsep jadi dalam sistem kenegaraan yang bisa diterapkan.

"Di dunia Muslim dalam waktu yang lama terjadi distorsi pengalaman praktik politik ideal, sehingga dalam periode yang berdekatan dengan sekarang ini tidak ada contoh yang bisa diaplikasikan untuk kehidupan bernegara," ucapnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya