Olahraga di Saat Emosi Bisa Meningkatkan Risiko Serangan Jantung

Hati-hati, jangan berolahraga dalam keadaan emosi.

oleh Ficky Yusrini diperbarui 22 Okt 2016, 06:25 WIB
Hati-hati, jangan berolahraga dalam keadaan emosi.

Liputan6.com, Jakarta Dalam sebuah penelitian terbaru di Kanada, aktivitas olahraga berat dan mood yang buruk adalah dua pemicu umum terjadinya serangan jantung. Dan, lebih berbahaya lagi, ketika keduanya terjadi pada waktu yang bersamaan, risikonya menjadi bertambah tinggi.

Olahraga berat seringkali menjadi pelarian ketika kondisi emosi sedang panas membara. Entah itu lantaran bertengkar dengan pasangan, ribut dengan teman, atau masalah berat di kantor. Tapi, benarkah itu cara yang aman? Studi ini didapat dari hasil analisis 12.000 survivor serangan jantung, yang usianya rata-rata 58 tahun, yang demografinya tersebar di 52 negara.

“Setelah mengalami kasus serangan jantung, mereka diberi kuesioner yang menanyakan apakah mereka saat itu tengah melakukan latihan berat yang menguras tenaga. Dan pada saat itu, bagaimana kondisi emosi mereka. Mereka juga ditanyakan aktivitas yang dilakukan pada jam yang sama, sehari sebelum serangan terjadi,” ujar Andrew Smyth, MD, PhD, yang mengepalai penelitian yang dilakukan McMaster University, Kanada.

Nah, ketika hasilnya dibandingkan, peneliti menemukan hubungan bahwa latihan fisik berat diasosiasikan dengan dua kali lipat risiko serangan jantung. Hal yang sama juga terjadi ketika seseorang marah. Bahaya yang lebih besar lagi adalah kombinasi keduanya, ternyata bisa menaikkan risiko lebih dari tiga kali lipat. Fakta ini terlepas dari fakta apakah responden seorang perokok atau tidak, BMI (body mass index), tekanan darah, masalah kesehatan lainnya, dan apakah mereka pernah mengonsumsi obat yang bisa memicu kondisi jantung.

“Latihan berat dan kondisi marah sama-sama berakibat menaikkan tekanan darah, mengubah aliran darah melalui pembuluh darah, dan mengurangi pasokan darah ke jantung,” ujar Andrew.

Secara umum, latihan berat bagus untuk jantung. Latihan dengan intensitas tinggi memberi keuntungan tersendiri yang tidak bisa didapatkan dari latihan olahraga ringan. “Penelitian ini tidak untuk membuat orang gentar untuk melakukan olahraga berat, hanya sebagai peringatan saja,” kata Andrew menambahkan.

Ia merekomendasikan, bagi mereka yang sedang dalam kondisi marah dan ingin menyalurkannya lewat olahraga, sebaiknya tidak melakukan latihan yang ekstrem. Artinya, di luar latihan rutin yang biasa dilakukannya. Saran ini berlaku untuk setiap orang, baik mereka yang punya riwayat penyakit jantung maupun sehat tanpa riwayat serangan jantung.

Yang disebut ekstrem, sampai sejauh mana? Bagi setiap orang memang subjektif. Mereka yang biasa lari 10 km tentu tidak menganggap lari jarak jauh sebagai ekstrem. Bagi yang jarang berolahraga, lari 3 km bisa saja ekstrem, karena jarang dilakukan.

Ahli lain, Barry J. Jacobs, PsyD, director of behavioral sciences di Crozer-Keystone Family Medicine Residency Program di Springfield, Pennsylvania, Amerika Serikat, mengatakan, penelitian terbaru di institusinya, menunjukkan bukti penting yang mengaitkan keterkaitan antara tubuh dan pikiran. "Rasa marah berlebihan, dengan penyaluran yang salah, akibatnya bisa mengancam jiwa. Kita harus belajar cara mengelola emosi dan menghindari emosi berlebihan hingga batas ekstrem. ”

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya