DPR dan Pemerintah Tak Naikkan Syarat Dukungan Calon Independen

Keduanya sepakat tak ada kenaikan dalam syarat dukungan calon perseorangan kepala daerah, yakni tetap 6,5-10 persen.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 27 Apr 2016, 09:22 WIB
Fadli Zon (kiri) menerima hasil pembahasan tingkat 1 dari Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman (kanan) saat rapat paripurna DPR, Jakarta, Selasa (17/2/2015). Dalam rapat tersebut DPR mengesahkan revisi UU Pilkada dan UU Pemda. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Pasca-perdebatan panjang antara DPR dan pemerintah dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, kini keduanya sepakat tentang aturan calon independen.

Keduanya sepakat tak ada kenaikan dalam syarat dukungan calon independen, yakni tetap 6,5-10 persen. Sementara untuk syarat dukungan calon dari partai politik juga disepakati tetap 15-20 persen. Namun kesepakatan ini masih perlu dikonsultasikan dengan Presiden Jokowi.

Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan, saat ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sedang membicarakan kesepakatan itu dengan Jokowi. Nantinya bila tidak rampung pada masa sidang ini maka revisi UU Pilkada akan dilanjutkan pasca-reses, yakni 17-30 Mei 2016.

Dalam proses pembahasan, pemerintah ingin syarat dukungan calon independen tetap 6,5-10 persen. Sebab dianggap menjadi angka dukungan psikologi publik. Jika syarat dukungan dinaikkan di atas itu, maka belum tentu mendapatkan dukungan mayoritas publik.


"Kita bisa terima 6,5 persen. Tapi karena UU ini asasnya keadilan dan kesetaraan, dan kami meminta pemerintah meng-exercise jumlah DPR tertinggi, ketemu 15 persen untuk parpol," kata Lukman Eddy dalam diskusi 'Revisi UU Pilkada' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (26/4/2016).

Lukman juga meminta agar verifikasi kartu tanda penduduk (KTP) sebagai tanda dukungan kepada calon kepala daerah betul-betul diseleksi. Sebab selama ini banyak temuan KTP palsu. Ia pun inginkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) melibatkan jaringan teknologi informasi yang canggih untuk memverifikasi KTP sebagai dukungan.

"Kami tidak mau abal-abal. KTP dikumpulkan di samsat, di leasing, kemudian dilakukan sampling itu lemah. Kami ingin KPU melibatkan jaringannya dan teknologi informasi. KPU saja sudah melakukan teknologi canggih untuk real count, masa untuk verifikasi KTP tidak bisa," tegas dia.

Selain itu, Lukman memastikan DPR dan pemerintah akan menyepakati revisi UU Pilkada pada akhir bulan Mei mendatang.

"Kami sudah minta masukan dari pemerintah supaya pembahasan tidak dipaksa selesai 30 April. Kemungkinan jika dalam satu dua hari ini tidak berhasil menyepakati seluruh pasal bisa ditunda sampai 29 Mei. Karena kita kan Jumat penutupan sidang jadi belum bisa selesaikan," papar Lukman.

Verifikasi KTP Sulit

Komisioner KPU Juri Ardiantoro mengakui kesulitan memverifikasi KTP sebagai bentuk dukungan. Berdasarkan pengalamannya, baik di KPU provinsi maupun pusat, kelemahan verifikasi terletak di sumber datanya.

Ia mencontohkan, calon kepala daerah bisa saja mendapat dukungan dari KTP yang didapat dari puskesmas, samsat, dan lainnya. Namun KPU tidak punya kewenangan menindak bagaimana calon kepala daerah mendapatkan KTP apakah legal atau ilegal.

"Yang menjadi pertanyaan KPU apakah anda mendukung pasangan calon ini atau tidak. Aplikasi yang kita punya itu bukan untuk verifikasi faktual tapi verifikasi kegandaan KTP," ucap Juri.

Sementara, kata Juri, jika penyelesaian revisi UU Pilkada ditunda, kemungkinan besar akan berpengaruh pada proses tahapan Pilkada yang telah ditentukan.

"Jadwal yang dibuat KPU apakah akan mundur tahapannya, pasti ada pengaruhnya terkait pengaturan jadwal KPU pada Pilkada serentak 2017. Meskipun KPU sudah melakukan sepanjang RUU belum dilahirkan, maka UU yang ada sekarang tetap menjadi rujukan dalam merancang tahapan 2017 nanti," kata Juri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya