Sukses

Parjo, Potret Kemiskinan Warga Jakarta

Parjo tinggal di rumah berukuran 2 x 3 meter di pinggir Sungai Ciliwung, Manggarai, Jaksel. Bersama sejumlah pemulung lain, Parjo tinggal sekitar dua meter di bibir sungai hingga rawan kebanjiran.

Liputan6.com, Jakarta: Namanya, Pak Parjo. Dia tinggal di rumah kayu berukuran 2 x 3 meter, pinggir Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta Pusat. Setiap hari, pria tua ini memungut barang bekas untuk mencukupi hidup. Tak banyak rupiah yang bisa dia kumpulkan. Jika mujur, Parjo bisa mengantongi duit Rp 900 hingga Rp 10 ribu. Tak setiap hari dia mujur. Uang sebesar ini dipakai untuk menghidupi istrinya yang dia bawa dari kampung. Itu pun mesti dipotong tagihan listrik dan air sebesar Rp 30 ribu saban bulan.

Masih banyak Parjo lain di tepi Sungai Ciliwung. Mereka umumnya berasal dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menjadi pemulung adalah pekerjaan yang mereka tekuni sekarang. Padahal, ketika hijrah dari kampung, &quotParjo-Parjo" itu mempunyai satu harapan: hidup layak. Para pemulung ini mendirikan rumah yang terbuat dari papan dan kardus sekitar dua meter dari bibir sungai. Tak ayal, kalau turun hujan, rumah-rumah ini tergenang bahkan terseret luapan sungai.

Pak Parjo mungkin bisa mewakili jutaan orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2004, total penduduk miskin Indonesia lebih dari 36 juta jiwa. Di Pulau Jawa ada tiga provinsi yang tercatat memiliki jumlah penduduk miskin tertinggi. Di Luar Jawa, provinsi yang memiliki penduduk miskin tinggi adalah Papua, Maluku, dan Gorontalo. Kategori penduduk miskin versi BPS adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp 122 ribu per bulan.

Kondisi tak jauh berbeda juga ditemui di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Dusun Seran, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Sedikitnya 50 jiwa penghuni desa ini hampir setiap hari makan buah labu sebagai sayur. Separuh penghuni desa ini juga tak bisa membaca dan menulis. Bahkan, anak-anak mereka tak mengenal imunisasi. Untunglah sejauh ini tak ada penduduk yang mengeluh anaknya sakit akibat tak diimunisasi.

Sebanyak 15 kepala keluarga di Dusun Seran bekerja sebagai buruh di PT Perkebunan Kandangan. Mereka diupah Rp 4.500 per hari. Untuk bisa makan nasi, sebulan sekali warga turun gunung ke Desa Gondo Suli membeli beras. Pengeluaran mereka menjadi berlipat karena harus menyewa mobil untuk mengangkut beras.

Delapan anak yang ditemui SCTV, mengaku tak pernah mengecap pendidikan. Anak yang ingin sekolah harus menempuh jarak sedikitnya 16 kilometer menuju Dusun Weru yang mempunyai fasilitas sekolah. Alhasil, sebagian besar anak Dusun Seran hanya bermain sepanjang hari. Hingga saat ini, uluran tangan Pemerintah Kabupaten Madiun tak sampai di dusun ini.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.