Sukses

Forum Jurnalis Lingkungan dan LSM Sorot Perusahaan Tambang, Nyali Pemerintah Aceh Diuji

Masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh tumpahan batu bara di Aceh Barat terjebak dalam spiral yang tak kunjung usai. Pemerintah dinilai ikut bertangggung jawab. Simak beritanya:

Liputan6.com, Aceh - PT Mifa Bersaudara kembali disorot setelah ceceran batu bara yang tumpah ruah di sepanjang pantai Desa Peunaga Rayeuk, Meureubo, Aceh Barat, dialamatkan kepada perusahaan tambang tersebut. Pemerintah Aceh lagi-lagi diminta untuk menyeriusi persoalan yang berdampak pada pencemaran laut ini.

Kabar pencemaran limbah batu bara kembali mencuat sejak beberapa hari yang lalu. Namun, belum diketahui apakah bongkahan-bongkahan batu bara tersebut merupakan endapan lama yang dibawa oleh arus ke bibir pantai atau material yang tumpah ke laut akibat aktivitas bongkar muat akhir-akhir ini.

Ketidakpastian ini menunjukkan bahwa masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh tumpahan batu bara di Aceh Barat terjebak dalam spiral yang tak kunjung usai. Berita mengenai tumpahan batu bara di sana muncul dan menghilang seiring putaran arus air laut.

Secara resmi, manajemen perusahaan menyatakan bahwa mereka telah menanggulangi kasus tumpahan batu bara di sekitar wilayah operasional pelabuhan mereka. Namun, gerakan pembersihan yang mengikutsertakan warga yang konon dibayar ini tentu hanya menyasar tumpahan batu bara yang berserakan di tepi pantai saja, bukan yang mengendap di dalam lautan.

Mengutip Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, tumpahan batu bara di dalam laut dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut yang akan berdampak pada biota laut setempat. Pihak lain yang akan dirugikan dalam hal ini tentu saja nelayan lokal.

"Apakah cukup dengan kompensasi atau ganti rugi kepada masyarakat nelayan? Lalu bagaimana dengan tanggung jawab mereka (perusahaan) menjaga lingkungan?" tanya Munandar, dalam rilis tersiar yang diterima Liputan6.com, Selasa siang (15/3/2023).

Sebagai info, Irsadi Aristora dalam jurnal Pencemaran Laut Ditinjau dari Sudut Hukum Lingkungan (Studi Kasus Tumpahan Batu Bara di Laut Meulaboh) tahun 2018, menjelaskan bahwa pencemaran air laut bisa diakibatkan oleh limbah batu bara yang tercuci oleh air laut maupun yang disengaja dicuci untuk memisahkan sulfur.

Limbah pencucian batu bara tersebut mengandung berbagai zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya dikonsumsi, antara lain, belerang, merkuri, asam slarida, mangan, asam sulfat, serta timbal. Merkuri dan timbal sendiri merupakan logam berat yang bisa menyebabkan kanker kulit.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Main Ogah-ogahan

Sebagai perusahaan, PT Mifa Bersaudara didirikan dengan akta No. 69 tanggal 14 Januari 2002. Perusahaan yang bergerak di bidang tambang ini disahkan melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-03647.HT.01.01.TH.2002 tentang Pengesahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas.

Salah satu anak Perusahaan PT Media Djaya Bersama ini memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi No.117b/2011 dengan wilayah konsesi seluas 3.134 hektare di Aceh Barat. Perusahaan ini dilaporkan memiliki potensi cadangan batu bara sebesar 383 juta metrik ton serta telah membangun terminal khusus pemuatan batu bara di pantai Peunaga.

PT Mifa Bersaudara melakukan penambangan percobaan pada Januari 2012 dan mulai mengapalkan batu bara ke Lhok Nga, Aceh Besar, pada Oktober di tahun yang sama. Dapat pengakuan Eksportir Terdaftar (ET Batubara) No.03.ET-04.14.0072, perusahaan ini mulai melakukan ekspor sejak Januari 2015.

Seiring waktu, perusahaan dengan Sertifikat Clean and Clear (CnC) No. 234/Bb/03/2014 ini kerap dikait-kaitkan dengan pelbagai dugaan pencemaran lingkungan baik udara maupun laut sekitar wilayah operasional mereka. Persoalan limbah batu bara di laut mulai muncul sejak insiden yang terjadi pada Mei 2017.

Waktu itu, tongkang Barge Satria Samudra (SS) 08 yang dioperasikan oleh PT Baruna Dirga Dharma selaku mitra kerja PT Mifa Bersaudara lepas dari kapal penarik dan kandas di sebelah selatan pemecah ombak milik PLTU Nagan Raya. Satu bulan kemudian ombak memiringkan tongkang tersebut yang menyebabkan batu bara diperkirakan berjumlah 250 ton jatuh ke laut.

Limbah batu bara yang tumpah tersebut diyakini hanyut dibawa arus lantas mencemari pantai. Namun, untuk kasus pencemaran limbah batu bara tahun-tahun berikutnya, manajemen perusahaan itu ogah disebut sebagai biang di baliknya karena selain PT Mifa Bersaudara, ada pihak lain yang juga melakukan bongkar muat, yakni PLTU Nagan 1-2.

"...secara responsif dan berkelanjutan melakukan kegiatan pembersihan pantai bersama warga sekitar jika ada ceceran batu bara yang muncul setiap kalinya di wilayah sekitar operasional pelabuhan perusahaan, meskipun sumber ceceran batubara tersebut belum tentu berasal dari perusahaan," kata Wakil Kepala Teknik Tambang PT Mifa Bersaudara Abdul Haris, dalam rilis diterima Liputan6.com, Selasa siang.

3 dari 3 halaman

Pemerintah Aceh Tak Bernyali?

Juli 2020 lalu, tongkang rekanan PLTU, yaitu PT Adhi Guna Putra terempas ke pesisir pantai Gampong Lhok, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya. Penyebabnya diduga akibat ikatan talinya terlepas dari tugboat (kapal tunda) karena badai serta angin kencang ketika sedang mengangkut batu bara untuk PLTU 1-2 yang merupakan milik PLN (Persero) dengan kapasitas 2x100 megawatt.

Muatan tongkang itu bervolume 1.500 metrik ton, tetapi, angka tersebut masih disangsikan karena perusahaan tersebut ternyata belum mengajukan laporan harian resmi mereka mengenai total muatan selama kegiatan pengangkutan saat itu. Jumlah batu bara yang tumpah tentunya berdampak pada signifikansi akibat yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan laut sekitar.

PLTU Nagan 1-2 dan PT Mifa Bersaudara sendiri merupakan dua perusahaan yang wilayah operasional pelabuhannya dapat dikatakan bertetangga. Keduanya berada di wilayah perbatasan antara dua kabupaten yaitu Nagan Raya dan Aceh Barat kendati peristiwa tongkang PT PT Adhi Guna Putra yang terempas ke pesisir pantai berada berkilo-kilo jauhnya dari temuan terbaru.

Koordinator GeRAK Aceh Barat, Edy Syahputra, mengatakan bahwa manajemen perusahaan akan terus berkilah selama tidak ada pihak yang ditunjuk batang hidungnya sebagai perusahaan yang bertanggung jawab. Ia mendesak dilakukan penyelidikan komprehensif karena masalah untuk kasus-kasus serupa cenderung selesai sebatas permukaan atau tidak pernah sampai ke akar.

"Sepatutnya, ada pihak yang harus dikejar untuk bertanggungjawab, sehingga mereka yang terkena dampak langsung wajib mendapatkan kompensasi dan kerusakan lingkungan juga wajib dipulihkan oleh mereka para pelaku," tegas Edy kepada Liputan6.com, Kamis pagi (16/3/2023).

Edy juga menilai bahwa Pemerintah Aceh belum sepenuhnya menjalankan implementasi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam masalah ini, pemerintah semestinya bisa berpedoman kepada UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 entang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

"Di mana skemannya memungkinkan pemerintah memberikan sanksi administratif untuk pemulihan. Sanksinya seperti, pembekukan izin, proses audit, pengawasan jalan, dan kemudian ditemukan ada proses yang dilanggar, maka hal ini memungkinkan untuk memberikan sanksi terhadap si pelaku usaha," pungkas Edy.

Segendang sepenarian dengan Edy, Koordinator FJL Aceh, Munandar juga mendesak Pemerintah Aceh untuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Selain itu, juga menagih tanggung jawab mereka dalam menjaga lingkungan sekitar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.