Sukses

Pakar UGM Sebut Produksi Kedelai Lokal Terus Menyusut, Apa Solusinya?

Produksi kedelai lokal tiap tahun selalu menurun. Berbagai faktor membuat produktivitas kedelai lokal menyusut. Pakar UGM memiliki solusi agar produksi kedelai lokal tetap stabil bahkan mampu tembus pasar ekspor.

Liputan6.com, Yogyakarta - Pakar Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Atris Suyantohadi mengatakan, produktivitas kedelai lokal terus mengalami penyusutan. Penyusutan ini, menurutnya, karena harga beli di pasaran yang murah dan di bawah nilai harga pokok produksi dari petani. Ditambah, kurangnya jaminan pasar harga kedelai dari hasil panen petani memicu munculnya keengganan petani melakukan budi daya kedelai.  

Jika dihitung maka lahan kedelai pada tahun 1990 mencapai luas 1,3 juta hektare dan pada tahun 2005 merosot tajam menjadi 621 ribu hektare.   

"Minimnya ketersediaan kebutuhan kedelai lokal memberikan peluang kepada negara luar untuk mengekspor kedelai ke Indonesia," katanya Kamis, 5 Agustus 2021.

Atris mengatakan, kebutuhan kedelai baik untuk kebutuhan pangan maupun penggunaan kedelai untuk menunjang industri sebenarnya memiliki nilai yang sangat tinggi di dalam negeri. Ia menyebutkan, industri tahu dan tempe yang tergolong sebagai industri kecil dan rumah tangga di Indonesia mampu mempunyai nilai produksi mencapai Rp92,3 triliun dan nilai tambah sebesar Rp37,3 triliun.

Hanya saja, teknologi dalam penanganan pascapanen dan pengendalian hasil pascapanen di tingkat kelompok tani masih mengalami kendala teknis seperti tata cara penyimpanan yang baik dan penanganan ruang penyimpanan yang memenuhi standar kualitas hasil pascapanen.

Tidak adanya sistem manajemen pengendalian pascapanen kedelai petani mulai dari teknologi penanganan pascapanen, penyimpanan di gudang, proses pengolahan kedelai, dan pemasaran kedelai dari petani hingga ke konsumen dan pelaku industri merupakan kendala besar dari daerah sentra produksi kedelai.

"Banyaknya kendala di tingkat kelompok tani dalam penanganan pascapanen kedelai menjadikan tingkat kualitas kedelai sebagai bahan baku industri pengolahan kurang dapat terpenuhi," ujarnya.

Ditambah, menurut Atris, tata niaga pascapanen kedelai juga sangat ditentukan oleh mekanisme pasar dari hulu panen kedelai oleh petani, pedagang perantara pasar dari kecil hingga pedagang besar, berdampak pada ketergantungan harga para spekulan pedagang pasar. 

Ia mengusulkan adanya penguatan sistem agribisnis dan agroindustri kedelai yang berbasi teknologi sistem informasi dari tingkat hulu di petani dari mulai menanam kedelai, kebutuhan benih, kontrak petani, SOP budi daya, penanganan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), penanganan pascapanen, hingga hasil panen kedelai memenuhi standar kebutuhan bahan baku Industri dan juga diolah sebagai produk pangan agroindustri.

Model pengembangan yang ia sebut Smart Enterprise Kedelai kedelai ini bisa memproteksi harga yang sesuai Harga Pokok Produksi di tingkat petani, melakukan penjadwalan dan mengatur pengiriman dan transportasi ke konsumen dan pelaku industri dan pengolahan menjadi produk pangan dengan bahan baku kedelai. 

"Sistem ini mampu menghubungkan komponen pelaku dalam sistem tata niaga kedelai serta mampu membantu dan menjaga kontinuitas produk sepanjang tahun," ujarnya.

Saat ini, pengembangan Smart Enterprise Kedelai dijalankan di Kantor Gudang Sistem Resi Gudang (SRG) Kabupaten Bantul guna pengendalian stok dan sistem resi gudang saat panen kedelai melimpah, dan juga dibangunnya Agroindustri Tempe berbahan baku kedelai lokal di Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah dari tahun 2015. Dari hulu hingga hilir, kedelai lokal akan semakin diberdayakan petani dan dapat meningkatkan nilai ekonomi.

Penerapan kegiatan Smart Enterprise Kedelai melibatkan unsur kolaborasi dan sinergitas terdiri dari pemerintah, Industri, Kelompok Petani, Akademisi Pendidikan Tinggi, dan Media sebagai bentuk sistem Pentahelix. Dalam kurun waktu setahun pada tahun 2020, keterlibatan kelompok petani kedelai di Smart Enterprise Kedelai telah mencapai 2.200 mitra petani dengan memanfaatkan lahan 294 hektare dan menyerap 8.820 tenaga kerja dan mendukung perekonomian pedesaan. 

Menurutnya, pengembangan Smart Enterprise Kedelai ke depan dapat digunakan sebagai model untuk komoditas kedelai yang bisa dikembangkan di berbagai daerah–daerah sentra kedelai di Tanah Air.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.