Sukses

Polisi Belum Limpahkan Perkara Dugaan Korupsi Bandara Tana Toraja ke Kejaksaan, Ada Apa?

Meski telah lama menyandang status P-21, Polda Sulsel belum juga menyerahkan tersangka dan barang bukti dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Tana Toraja ke Kejaksaan.

Liputan6.com, Toraja - Meski telah berstatus lengkap (P-21), Polda Sulsel belum juga melimpahkan perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja ke Kejaksaan.

Pjs Kasubdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel, Kompol Fadli mengatakan pihaknya masih sedang berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) terkait hal tersebut.

"Kita belum tahap dua. Kejaksaan juga kan bukannya hanya urus itu banyak perkara juga," kata Fadli via telepon, Senin (8/2/2021).

Ia menegaskan tak ada kendala dalam hal penyerahan tersangka sekaligus barang bukti (pelimpahan tahap dua) dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Tana Toraja ke Kejaksaan.

"Perkara Bandara Mangkendek Tana Toraja ini kan sudah P-21. Tinggal waktu saja pelimpahan tahap dua ke Kejaksaan," jelas Fadli.

 

 

**Ingat #PesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tanggapan Akademisi

Terkait hal itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina mengatakan, tak boleh ada alasan lagi untuk dapat menghalangi perkara korupsi yang telah dinyatakan P-21 agar bisa segera dibawa ke meja hijau.

Ia tak menampik bahwa pelimpahan perkara yang sudah berstatus P-21 hanya bersifat teknis semata, dalam hal ini harus ada koordinasi antara penyidik dan jaksa penuntut umum selaku penerima berkas perkara. Namun hal itu jangan sampai berlarut-larut waktunya.

Publik, kata Jermias, akan menilai hal tersebut tidak baik. Sebab perkara yang sudah P-21 tidak lagi membahas soal substansi masalah. Namun hanya berkaitan dengan kesiapan waktu dan kelengkapan teknis semata untuk penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti.

"Kok cuma hal teknis saja terkesan menjadi problem besar?. Semakin lama publik akan mempertanyakan integritas penyidik Polda Sulsel. Sebab kasus korupsi tersebut yang paling terlama penanganannya oleh penyidik Polda Sulsel," tutur Jermias.

Menurut dia, seharusnya penyidik Polda Sulsel menyadari hal tersebut sehingga bersikap proaktif atau lebih gesit meminta waktu kesediaan atau kesiapan pelimpahan tahap dua ke jaksa penuntut umum Kejati Sulsel.

Jika penyidik Polda Sulsel secepatnya melimpahkan kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Tana Toraja tersebut ke jaksa penuntut umum Kejati sulsel, tentunya akan mendapatkan penilaian positif dalam hal ini dinilai berhasil memenuhi janjinya ke publik. Meski, diakui Jermias, penanganan kasus tersebut diketahui sebagai kasus yang paling terlama dibandingkan dengan kasus korupsi lainnya yang ditangani Polda Sulsel.

Ia pun menantang nyali penyidik Polda Sulsel agar bekerja cepat, lebih gesit serta proaktif berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum Kejati Sulsel dalam hal pelimpahan tahap dua kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Tana Toraja yang sudah lama dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan.

"Prestasi sudah diperoleh untuk menetapkan tersangka dan juga telah ditetapkan P-21 dengan waktu yang begitu lama sementara sekarang tinggal hal teknis semata, kok kenapa menjadi lamban dan lama kembali dalam tahap dua. Ada apa?," Jermias menandaskan.

 

3 dari 3 halaman

Disupervisi KPK

Setelah dibuka kembali sejak April 2019, penyidik subdit tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi, antara lain mantan Bupati Tana Toraja, Theofelus Allorerung, mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten TanaToraja yang juga bertindak selaku ketua panitia pengadaan tanah, Enos Karoma, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Tana Toraja selaku anggota panitia pengadaan tanah, Yunus Sirante dan mantan Camat Mangkendek selaku anggota panitia pengadaan tanah, Ruben Rombe Randa.

Kemudian, saksi lainnya yakni mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja yang juga bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA), Meyer Dengen dan mantan Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja, Aspa Astri Rumpa.

Serta turut juga memeriksa Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja yang saat itu bertindak sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Welem Sambolangi dan mantan Ketua Komisi 3 DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Yohannes Lintin Paembongan.

Usai memeriksa para saksi, penyidik lalu lakukan gelar perkara dan menetapkan kembali delapan orang tersangka yang jauh sebelumnya sudah pernah berstatus tersangka namun bebas demi hukum karena masa penahanannya di tahap penyidikan kala itu usai.

"Tersangka masih yang dulu," kata Kombes Pol Yudhiawan Wibisono yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Minggu (22/9/2019).

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat itu dijabat oleh Laode Muhammad Syarif juga sempat kaget mendengar kabar penyidikan dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel belum rampung hingga saat ini.

Sementara kasus tersebut, diakuinya, telah disupervisi dan dilakukan gelar perkara bersama dengan menghadirkan penyidik Polda Sulsel dan tim peneliti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel di gedung KPK RI.

"Hasil supervisi sudah jelas. Itu juga merupakan permintaan Polda Sulsel dan Kejati Sulsel. Kita juga sudah lakukan gelar perkara bersama di KPK. Oh ya belum rampung yah saya coba cek nanti," singkat Laode kala itu saat ditemui usai menghadiri acara Bung Hatta Tour yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar di gedung Aula Fakultas Pertanian Unhas, Rabu 6 September 2017.

Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya. Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya saat itu penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum disepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 per meter persegi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah diperiksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 Miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Provinsi Sulsel. Dari data yang dihimpun, kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.