Sukses

Jelang Natal, Eks Buron Korupsi Lahan Negara Dapat Penangguhan Penahanan

Liputan6.com, Makassar Jelang perayaan Natal tahun 2019, diam-diam Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) memberikan penangguhan penahanan terhadap Soedirjo Aliman alis Jentang, eks buronan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar atau kawasan proyek nasional Makassar New Port.

"Soal itu tanya langsung saja sama Pak Aspidsus atau sekalian tanyakan ke pihak Lapas lah di sana," singkat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar saat di temui di Kantor Kejati Sulsel, Jumat (13/12/2019).

Terpisah, Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1A Makassar, M Zaini membenarkan adanya penangguhan penahanan yang diberikan kepada eks buronan dugaan korupsi lahan negara tangkapan tim Intelijen Kejagung di sebuah Hotel di Jakarta tersebut.

"Tadi malam tersangka dikeluarkan dari sel tahanan Lapas. Dia dapat penangguhan," singkat Zaini via telepon, Jumat (13/12/2019).

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun menyesalkan sikap Kejati Sulsel yang dinilai telah mencederai komitmen pemberantasan korupsi dengan cara diam-diam memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buronan kasus dugaan korupsi lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang.

"Jentang ini kan pernah dua tahun lebih memburon usai ditetapkan jadi tersangka dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara dan nanti bulan Oktober 2019 berhasil ditangkap oleh tim Tabur Kejagung. Loh kok malah Kejati tolerir yah. Kejagung harus segera evaluasi Kajati Sulsel ini," ucap Kadir.

Kadir berharap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga segera mengevaluasi kinerja Koorsupgah KPK yang dinilai kecolongan dalam mengawasi perjalanan penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat eks buronan tersebut.

"Bukannya belakangan ini Koorsuogah KPK cukup intens membangun koordinasi dengan pihak Kejati Sulsel terkait penanganan kasus dugaan korupsi lahan negara Buloa. Loh kok malah kecolongan tersangka malah dapat penangguhan penahanan. Kinerja Koorsupgah KPK patut dipertanyakan," tegas Kadir.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

KPK Supervisi Kasus Dugaan Korupsi Lahan Negara Buloa Makassar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya memastikan tak akan berhenti melakukan koordinasi supervisi dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) agar penanganan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa, Makassar bisa terungkap dengan utuh dan menyeret semua pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

"Dalam hal pengembangan perkara terhadap keterlibatan pihak-pihak lainnya masih didalami oleh penyidik Kejati Sulsel. Hingga saat ini KPK masih terus melakukan koorsup terhadap perkara ini," kata Koordinator Supervisi dan Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (Koorsupgah KPK), Aldiansyah Malik Nasution via pesan singkat, Sabtu 19 Oktober 2019.

Ia mengatakan supervisi terhadap perkara dugaan korupsi yang menjerat Soedirjo Aliman alias Jentang sebagai tersangka tersebut, telah dilakukan KPK sejak tahun lalu.

Namun, lanjut dia, proses penanganannya sempat terhambat karena tersangka Jentang sempat melarikan diri alias buron.

"Tentu kita harap kasus ini tak berhenti di Jentang. Makanya supervisi terus berjalan mendorong pengembangan kepada adanya keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus yang merugikan negara ini," jelas Aldiansyah.

Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Gery Yasid mengatakan kemungkinan besar untuk pengembangan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa tersebut, selalu terbuka.

Penyidik, kata dia, masih terus mempelajari adanya peranan orang lain dalam kasus yang ditaksir oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel telah merugikan keuangan dan perekonomian negara itu.

"Tidak menutup kemungkinan jika alat bukti dirasa cukup, mungkin ada pengembangan terhadap tersangka lainnya," jelas Gery.

3 dari 4 halaman

Keterlibatan Pihak Lain

Terpisah, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengatakan pihaknya tetap mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi total atas kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa tersebut.

"Kenapa KPK harus hadir, tentunya untuk mengevaluasi dan menyambung kembali fakta-fakta hukum yang dilepaskan Kejati sewaktu mereka menyidik Rusdin cs," terang Kadir via telepon,

Dimana dalam fakta hukum kasus Buloa terungkap peranan orang lain. Namun terkesan ditutupi oleh Kejati.

"Kehadiran KPK sangat penting karena sejak awal kami menilai Kejati terkesan menutupi peran orang lain dalam kasus ini. Kasus ini tak boleh berhenti di Jentang, karena benang merahnya masih menyambung ke pihak lain diantaranya Ulil Amri, Jhoni Aliman, Edi Aliman, mantan Lurah, mantan Camat serta dua perusahaan BUMN," ungkap Kadir.

Seharusnya, kata dia, semua diperiksa dan diminta pertanggung jawaban. Tidak berhenti kepada peranan Jentang.

"Kalau begini tindakan penyidik, sangat terkesan tebang pilih dalam menetapkan tersangka,” tegas Kadir.

Dari fakta penyidikan, beber Kadir, telah jelas mengungkap kronologi sejak awal kasus Buloa. Dimana adanya penerbitan surat keterangan garapan yang dikeluarkan oleh Lurah Tallo kala itu, Ambo Tuo dan disetujui oleh Camat Tallo di era kepemimpinan, AU Gypping Lantara.

Bukti keterangan garapan yang dimiliki oleh kedua anak buah Jentang atas laut yang terletak di Kelurahan Buloa terbit dengan memberikan keterangan yang tidak benar alias kuat dugaan ada unsur kolusi dalam proses pemberian keterangan garapan tersebut oleh mantan Lurah Buloa, Ambo Tuo dan disetujui oleh Mantan Camat Tallo, A.U Gypping Lantara kala itu.

Kedua anak buah Jentang masing-masing Rusdin dan Jayanti mendapatkan keterangan garapan dari Kelurahan Buloa dan disetujui oleh Camat Tallo saat itu, karena pertimbangan keduanya sejak lama menggarap di area laut Buloa sebagai petani budidaya rumput laut.

“Padahal jelas-jelas sejak dulu hingga sekarang ini, disana tak pernah ada kegiatan budidaya rumput laut karena kondisi alam yang penuh bakau dan sangat tidak memungkinkan dilakukan budidaya rumput laut,” beber Kadir.

Tak hanya itu, pihak PT. PP dan PT. Pelindo selaku pelaksana pengerjaan sekaligus pembayar uang sewa lahan negara juga patut dimintai pertanggung jawaban. Karena dianggap lalai dan tidak cermat sehingga membayarkan uang sewa lahan begitu saja.

“Hal itu juga dikuatkan dari pengakuan saksi ahli yang dihadirkan Kejati Sulsel waktu sidang Buloa digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar saat itu. Dimana perusahaan BUMN tersebut dinilai turut andil berperan menimbulkan kerugian negara," terang Kadir.

“Ada unsur kelalaian dari pihak BUMN yang bersangkutan, baik itu PT. PP dan PT Pelindo yang secara tidak cermat membayarkan uang sewa pada oknum yang mengkalim lahan negara ,”kata Kadir mengutip pengakuan Ahli Hukum Keuangan Negara asal Universitas Airlangga, Surabaya, Siswo Wijanto saat memaparkan kesaksiannya dalam sidang perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara buloa yang mendudukkan tiga orang terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti di Pengadilan Tipikor Makassar, Senin 30 Oktober 2017.

Menurut mantan Sekretaris Departemen Keuangan RI tersebut, kata Kadir, penyewa lahan dalam hal ini PT. PP dan PT. Pelindo tidak bertindak profesional sebelum melakukan pembayaran kepada pihak yang mengaku sebagai penggarap lahan.

“Harusnya selaku penyewa lahan mengetahui betul seluk-beluk lahan. Harus diketahui, PBB itu bukan surat hak milik, sementara surat garap juga tidak bisa jadi dasar, makanya ketika BUMN melakukan transaksi, jelas itu bisa disebut menimbulkan kerugian negara dan itu kelalaian,” ungkap Kadir melanjutkan kutipan Siswo saat memberikan keterangan keahliannya dihadapan Majelis Hakim perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara buloa yang dipimpin langsung oleh Bonar Harianja kala itu.

Lebih jauh, Siswo juga menjelaskan bahwa ada dua tipe aset negara, yakni aset potensial dan operasional.

“Nah kalau melihat data lahan dalam perkara Buloa ini, area tersebut merupakan aset potensial, ”tutur Siswo dalam keterangannya di persidangan saat itu.

Ia bahkan mengatakan sangat mudah membuktikan terjadinya kerugian negara dalam perkara Buloa tersebut. Pertama sambung dia, merujuk pada keberadaan surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dijadikan dasar untuk menerima uang sewa lahan.

“PBB sebenarnya bukan dasar kepemilikan lahan, apalagi sudah sangat jelas sejarah lahan ini merupakan aset potensial negara yang timbul karena hasil reklamasi atau sengaja ditimbun," Siswo menjelaskan dihadapan Majelis Hakim.

Sehingga menurut Siswo, secara teori, lahan Buloa tersebut merupakan aset negara yang disewakan karena kelalaian dan tidak dengan cara prefesional dan akhirnya menimbulkan kerugian negara.

“Meski timbul izin garap, itu bukan dasar transaksi sewa-menyewa, sebab jika negara membutuhkan untuk kepentingan negara, wajib bagi penggarap menyerahkan lahan itu,” tegas Siswo dalam keterangannya di persidangan kala itu.

Sementara peran ketiga orang terdekat Jentang sendiri. Yakni Edy Aliman, Johny Aliman dan Ulil Amri, dimana rekening Edy maupun Johny disebut sempat mengendap atau digunakan dalam menerima transferan uang sewa lahan Buloa.

Ulil Amri sendiri, dimana sejak awal hingga akhir pembayaran sewa lahan selalu terlibat. Bahkan dalam proses penyidikan ia dinilai sebagai aktor intelektual yang mengadakan seluruh dokumen perjanjian sewa lahan negara Buloa.

Nama Ulil masuk dalam salah satu nama penting turut disebut di dalam berkas dakwaan perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo, Makassar yang menjerat Muh. Sabri, Asisten 1 Bidang Pemerintahan Pemkot Makassar sebagai terdakwa.

Selain Ulil, Owner PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jentang Bin Liem Eng Tek turut disebut. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irma Ariani, dalam berkas dakwaan menyebut, Jentang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara Buloa.

Proses terjadinya penyewaan lahan negara disebut terjadi setelah difasilitasi Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT Pembangunan Perumahan (PP) dengan Rusdin dan Andi Jayanti Ramli selaku pengelola tanah garapan yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.

Bukti keduanya adalah pengelola tanah garapan didasari surat keterangan tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 yang diketahui oleh Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin, sementara Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.

Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jentang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya.

“Pertemuan pertama terjadi pada 28 Juli 2015 bertempat di ruang rapat Sabri selaku Asisten 1. Pada pertemuan itu terjadi negosiasi antara kedua belah pihak,” terang Irma.

Kemudian lanjut pada pertemuan kedua pada tanggal 30 Juli 2015. Dimana Jentang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin yang bertindak mewakili Jayanti. Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp 500 Juta atau lebih rendah dari tawaran Jentang cs yang meminta nilai Rp 1 Miliar.

Draf sewa lahan akhirnya disetujui dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu Jalan Gunung Bawakaraeng. Dalam pertemuan ini kembali dihadiri oleh Jentang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.

Akhirnya pada tanggal 31 Juli 2015 di Kantor Cabang Mandiri, PT PP melakukan pembayaran terhadap Rusdin dan Jayanti yang juga kembali dihadiri oleh Jentang dan Ulil Amri. Uang senilai Rp 500 Juta itu pun diterima Rusdin namun di bagi dua dengan Jayanti Ramli.

4 dari 4 halaman

Peran Jentang Dalam Dugaan Korupsi Lahan Negara Buloa Makassar

Tim Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkap Seodirjo Aliman alias Jentang dalam persembunyiannya di sebuah hotel di daerah Senayan, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.

Jentang merupakan buronan kasus dugaan korupsi proyek penyewaan lahan negara yang terletak di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kejati Sulawesi Selatan Nomor : PRINT-509/R.4/Fd.1/11/2018. Dimana dari hasil perbuatannya itu, negara ditaksir telah merugi sebesar Rp 500 juta.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan Jentang memilih buron hampir 2 tahun setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kota Makassar

"Jadi yang bersangkutan menghilang sejak ditetapkan sebagai tersangka tepatnya pada 1 Nopember 2017 oleh Kejati Sulsel," kata Mukri dalam keterangan rilisnya.

Ia mengatakan Jentang merupakan buronan ke 345 yang terdaftar pada program tabur 31.1 Kejagung. Dimana terhitung sejak program tersebut diluncurkan resmi oleh Kejaksaan pada tahun 2018 lalu.

"Dari total buronan yang berhasil tertangkap dalam program tabur 31.1, Jentang merupakan buronan ke 138 yang berhasil tertangkap di tahun 2019 ini," tutur Mukri.

Usai menangkap Jentang, Tim Intelijen Kejagung rencananya akan menyerahkannya ke pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) guna menjalani proses hukum lebih lanjut.

"Tersangka akan diterbangkan menuju Makassar untuk menjalani proses hukum selanjutnya," Mukri menandaskan.

Jentang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proyek penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

Hal itulah kemudian penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.

Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.

Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.

Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.

“Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya,” kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.

Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.

“Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah-langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut,” tegas Jan.

Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.

“Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” Jan menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.